Laman

Minggu, 20 November 2011

Kerajaan negara dipa

Negara Dipa Berdiri 1387-1495
Didahului oleh Kerajaan Kuripan
Digantikan
oleh Kerajaan Negara Daha
Ibu kota dan Bandar
Perdagangan Candi Laras (ibukota I) Candi Agung (ibukota II) Bandar Muara Rampiau
(Bandar Perdagangan)
Bahasa Banjar Klasik
Agama Syiwa-Buddha Kaharingan
Pemerintahan monarki
-Raja pertama Ampu
Djatmaka sejak ±1387
-raja terakhir Putri Kalungsu sampai 1495.
Sejarah
-Didirikan 1387
-Zaman kejayaan 1387-1495
-Krisis suksesi 1495
Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang berada di
pedalaman Kalimantan Selatan.
Kerajaan ini adalah pendahulu
Kerajaan Negara Daha. Kerajaan
Negara Daha terbentuk karena
perpindahan ibukota kerajaan dari Amuntai (ibukota Negara-
Dipa di hulu) ke Muhara Hulak (di
hilir). Sejak masa pemerintahan Lambung Mangkurat wilayahnya terbentang dari Tanjung Silat
sampai Tanjung Puting Kerajaan Negara Dipa memiliki
daerah-daerah bawahan yang
disebut Sakai, yang masing-
masing dipimpin oleh seorang Mantri Sakai. Sebuah pemerintahan Sakai kira-kira
sama dengan pemerintahan
lalawangan (distrik) pada masa
Kesultanan Banjar. Salah satu
negeri bawahan Kuripan adalah
Negara Dipa. Menurut Hikayat Banjar, Negara Dipa merupakan sebuah negeri yang didirikan
Ampu Jatmika yang berasal dari Keling (Coromandel).[3] Menurut Veerbek (1889:10) Keling,
propinsi Majapahit di barat daya Kediri.Menurut Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal
Kepulauan Indonesia dan
Senanjung Malaysia, hal 401 dan
435, Empu Jamatka (maksudnya
Ampu Jatmika) mendirikan pada
tahun 1387, dia berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmika
menjabat sebagai Sakai di
Negara Dipa (situs Candi Laras) (Margasari). Ampu Jatmika bukanlah keturunan bangsawan
dan juga bukan keturunan raja-
raja Kuripan, tetapi kemudian dia
berhasil menggantikan
kedudukan raja Kuripan sebagai
penguasa Kerajaan Kuripan yang wilayahnya lebih luas tersebut,
tetapi walau demikian Ampu
Jatmika tidak menyebut dirinya
sebagai raja, tetapi hanya
sebagai Penjabat Raja
(pemangku). Penggantinya Lambung Mangkurat (Lembu Mangkurat) setelah bertapa di
sungai berhasil memperoleh Putri
Junjung Buih yang kemudian
dijadikan Raja Putri di Negara
Dipa. Raja Putri ini sengaja
dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang Pangeran yang sengaja
dijemput dari Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak bergelar
Pangeran Suryanata I. Keturunan
Lambung Mangkurat dan
keturunan mereka berdua inilah
yang kelak sebagai raja-raja di
Negara Dipa. Menurut Tutur Candi, Kerajaan
Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika
sebagai anaknya sendiri maka
setelah dia tua dan mangkat
kemudian seluruh wilayah
kerajaannya (Kahuripan)
dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah
yang didiami oleh Empu Jatmika.
(Fudiat Suryadikara, Geografi
Dialek Bahasa Banjar Hulu,
Depdikbud, 1984) Kerajaan Negara Dipa semula
beribukota di Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir sungai Bahan tepatnya pada suatu
anak sungai Bahan, kemudian
ibukotanya pindah ke hulu sungai
Bahan yaitu Candi Agung
(Amuntai), kemudian Ampu Jatmika menggantikan
kedudukan Raja Kuripan (negeri
yang lebih tua) yang mangkat
tanpa memiliki keturunan,
sehingga nama Kerajaan Kuripan
berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa. Ibukota waktu itu
berada di Candi Agung yang terletak di sekitar hulu sungai
Bahan (= sungai Negara) yang
bercabang menjadi sungai
Tabalong dan sungai Balangan
dan sekitar sungai Pamintangan
(sungai kecil anak sungai Negara). Kerajaan ini dikenal sebagai
penghasil intan pada zamannya.
Raja Negara Dipa
1. Periode Raja-raja Kuripan
yang tidak diketahui nama
penguasa dan masa
pemerintahannya. Kerajaan
Kuripan ini disebutkan dalam
Hikayat Banjar Resensi II.
2. Ampu Jatmaka gelar Maharaja
di Candi, saudagar kaya dari Keling pendiri Negara Dipa tahun 1387 dengan mendirikan negeri Candi Laras
di hilir kemudian mendirikan
(atau menaklukan?) negeri
Candi Agung di hulu di sebalik
negeri Kuripan. Ampu Jatmaka
sebagai penerus ayah angkatnya raja tua Kerajaan
Kuripan [= raja negeri lama
yang berdiri sebelumnya] yang
tidak memiliki keturunan,
tetapi Ampu Jatmaka
mengganggap dirinya hanya sebagai Penjabat Raja. Ketiga
negeri/distrik ini dan ditambah
negeri Batung Batulis dan
Baparada (= Balangan) yang
muncul di dalam Hikayat
Banjar Resensi II teks Cense, maka inilah wilayah awal
Negara Dipa. Kemudian Empu
Jatmika memerintahkan
Tumenggung Tatahjiwa
memperluas wilayah dengan
menaklukan batang Tabalong, batang Balangan dan batang
Pitap. Ia jua memerintahkan
Arya Megatsari menaklukan
batang Alai, batang Labuan
Amas dan batang Amandit.
Widuga wilayah inilah yang menjadi ibukota baru
Tanjungpura di negara bagian
Tanjungnagara (Kalimantan-
Filipina).
3. Lambung Mangkurat [= logat Banjar untuk Lembu
Mangkurat] bergelar Ratu
Kuripan, putera Ampu Jatmika
(sebagai Penjabat Raja). Ia
berhasil memperluas wilayah
kerajaan dari Tanjung Silat/ Selatn sampai Tanjung Puting
yaitu wilayah dari sungai
Barito sampai sungai Seruyan.
4. Raden Galuh Ciptasari alias
Putri Ratna Janggala Kadiri
gelar anumerta Putri Junjung
Buih [= perwujudan putri buih/
putri bunga air menurut mitos
Melayu] yaitu puteri angkat Lambung Mangkurat, diduga
Ratu I ini berasal dari
Majapahit yang disebut Bhre
Tanjungpura. Menurut
Pararaton, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah
Suragharini yang berkuasa 1429-1464 adalah puteri Bhre Tumapel II 1389-1427 [= abangnya Suhita] dengan istrinya Bhre Lasem V. Bhre
Tanjungpura [= Bhre
Kalimantan] dan Bhre Pajang III
Sureswari 1429-1450 [= adik bungsu Manggalawardhani]
keduanya menjadi istri Bhre
Paguhan III 1400-1440 [= ayahnya Sripura] tetapi
perkawinan ini tidak memiliki
keturunan (menurut
Pararaton). Diduga Bhre
Tanjungpura menikah lagi
dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah
Wijayakumara. Menurut
Prasasti Trailokyapuri
Manggalawardhani adalah
Bhre Daha VI 1464-1474 yakni ibu Ranawijaya (janda Sang Sinagara).
5. Rahadyan Putra alias Raden
Aria Gegombak Janggala
Rajasa gelar anumerta
Maharaja Suryanata [=
perwujudan raja dewa
matahari], suami Putri Junjung Buih yang dilamar/didatangkan
dari Majapahit dengan
persembahan 10 biji intan. Raja ini berhasil menaklukan
raja Sambas, raja Sukadana/
Tanjungpura, orang-orang
besar/penguasa Batang Lawai
(= sungai Kapuas), orang
besar/penguasa Kotawaringin, orang besar Pasir, raja Kutai,
orang besar Berau dan raja
Karasikan. Menurut Hikayat
Banjar Versi II, pasangan ini
memperoleh tiga putera yakni Pangeran Suryawangsa, Pangeran
Suryaganggawangsa dan Pangeran Aria Dewangsa [adi-vamsa = pengasas
dinasti]. Ketiga putera ini
memerintah di daerah yang
berlainan (a) Undan Besar dan
Undan Kuning, (b) Undan Kulon
dan Undan Kecil (c) Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis dan Baparada [= Batu Piring?] serta Kuripan. Setelah beberapa lama memerintah
[pada tahun 1464?] Putri
Junjung Buih dan Maharaja
Suryanata mengatakan
hendak pulang ke tempat
asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh putera-
puteranya. NamaRajasa yang digunakan raja ini
kemungkinan kependekan dari Rajasawardhana aliasDyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, yaitu putera sulung
Bhre Tumapel III Dyah
Kertawijaya 1429-1447. Dyah Wijayakumara [= Bhre
Kahuripan VI] memiliki istri
bernama Manggalawardhani Bhre
Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat
orang anak, yaitu
Samarawijaya [= Bhre
Kahuripan VII], Wijayakarana,
[= Bhre Mataram V],
Wijayakusuma (= Bhre Pamotan II), dan Ranawijaya (=
Bhre Kertabhumi= Kartapura?
= Tanjungpura?).
6. Aria Dewangsa putera bungsu
Putri Junjung Buih dengan
Maharaja Suryanata (Hikayat
Banjar versi II), menikahi Putri
Mandusari alias Putri Huripan
[yang ibunya meninggal ketika melahirkannya] gelar Putri
Kabu Waringin [karena minum
air susu kerbau putih yang
diikat di pohon beringin] yaitu
puteri dari Lambung
Mangkurat (= Ratu Kuripan) dengan Dayang Diparaja.
7. Raden Sekar Sungsang, cucu Putri Junjung Buih dan juga
cucu Lambung Mangkurat
adalah putera dari pasangan
Pangeran Aria Dewangsa
dengan Putri Kabu Waringin
menurut Hikayat Banjar versi II, tetapi menurut Hikayat
Banjar versi I adalah cicit
Putri Junjung Buih dan juga
cicit Lambung Mangkurat.
Menurut versi II, Raden Sekar
Sungsang [= Panji Agung Rama Nata] pernah merantau ke
Jawa [dan diduga sudah
memeluk Islam] dan di Jawa ia mengawini wanita setempat
dan memperoleh dua putera
bernama Raden Panji Dekar
dan Raden Panji Sekar [yang
kemudian bergelar Sunan
Serabut karena menikahi puteri Raja Giri]. Sunan Serabut dari Giri inilah yang
menuntut upeti kepada Putri
Ratna Sari gelar Ratu Lamak
(puteri dari Raden Sekar
Sungsang dengan Putri Ratna
Minasih yang menggantikannya sebagai
raja). Ratu Lamak kemudian
digantikan adiknya Ratu Anom
yang pernah ditawan ke Jawa
karena gagal membayar upeti. Menurut Hikayat Banjar versi I,
ibu Raden Sekar Sungsang yaitu
Putri Kalungsu alias Putri Kabu
Waringin, permaisuri Maharaja
Carang Lalean (= Aria
Dewangga?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar
Sungsang masih berumur enam
tahun sewaktu Maharaja Carang
Lalean (= Raden Aria Dewangsa?)
mengatakan bahwa ia hendak
pulang ke tempat asalnya (dan jika raja ini putera
Manggalawardhani maka
kemungkinan kepulangannya ke
tempat asal/Majapahit untuk
membantu kakaknya
Samarawijaya berperang melawan pamannya Raja
Majapahit?). Maharaja Carang
Lalean kemudian melantik
Lambung Mangkurat sebagai
pemangku. Pada masa Maharaja Sari
Kaburungan alias Raden Sekar Sungsang, putera dari Putri Kabu Waringin alias Putri Kalungsu,
untuk menghindari bala bencana
ibukota kerajaan dipindahkan
dari Candi Agung (Amuntai)
karena dianggap sudah
kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke arah
hilir pada percabangan anak
sungai Bahan yaitu Muara Hulak
yang kemudian diganti menjadi
Negara Daha (sekarang
kecamatan Daha Selatan) sehingga kerajaan disebut
dengan nama yang baru sesuai
letak ibukotanya ketika
dipindahkan yaitu Kerajaan
Negara Daha. Nama sungai Bahan
pun berganti menjadi sungai Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar