Laman

Sabtu, 03 Desember 2011

kerajaan tanjungpura

Untuk kegunaan lain dari
Tanjungpura, lihat Tanjungpura. Kerajaan Tanjungpura atau Tanjompura[1] merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Kayong Utara ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa
lampau. Tanjungpura pernah
menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagaiBakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah
dimelayukan menjadi
Tanjungpura. Wilayah kekuasaan Tanjungpura
membentang dari Tanjung Dato
sampai Tanjung Sambar. Pulau
Kalimantan kuno terbagi menjadi
3 wilayah kerajaan besar: Borneo
(Brunei), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin.
Tanjung Dato adalah perbatasan
wilayah mandala Borneo (Brunei)
dengan wilayah mandala
Sukadana (Tanjungpura),
sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah mandala
Sukadana/Tanjungpura dengan
wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).[2] [3]Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah
kekuasaan Banjarmasin,
sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.[4] Perbatasan di pedalaman,
perhuluan daerah aliran sungai
Pinoh (Lawai) termasuk dalam
wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)[5] Pada masa mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Tanjungpura menjadi ibukota
bagi daerah-daerah yang diklaim
sebagai taklukan Majapahit di nusa Tanjungnagara
(Kalimantan). Majapahit
mengklaim bekas daerah-daerah
taklukan Sriwijaya di pulau
Kalimantan dan sekitarnya. Nama
Tanjungpura seringkali dipakai untuk sebutan pulau Kalimantan
di masa itu. Pendapat lain
beranggapan Tanjungpura
berada di Kalimantan Selatan
sebagai pangkalan yang lebih
strategis untuk menguasai wilayah yang lebih luas lagi.
Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama
Manggalawardhani Dyah
Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri
disebutkan Manggalawardhani
Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada,
sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai
ansa-nya. Perpindahan ibukota
kerajaan Ibukota Kerajaan Tanjungpura
beberapa kali mengalami
perpindahan dari satu tempat ke
tempat lainnya. Beberapa
penyebab Kerajaan Tanjungpura
berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari
kawanan perompak (bajak laut)
atau dikenal sebagai Lanon.
Konon, di masa itu sepak-terjang
gerombolan Lanon sangat kejam
dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering
beralih pusat pemerintahan
adalah demi mempertahankan diri
karena sering mendapat
serangan dari kerajaan lain.
Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura
dibuktikan dengan adanya situs
sejarah yang ditemukan di bekas
ibukota-ibukota kerajaan
tersebut. Negeri Baru di
Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan
pusat pemerintahan Kerajaan
Tanjungpura. Dari Negeri Baru,
ibukota Kerajaan Tanjungpura
berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Zainuddin (1665–
1724), pusat istana bergeser
lagi, kali ini ditempatkan di
daerah Sungai Matan (Ansar
Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai.
Seorang penulis Belanda
menyebut wilayah itu sebagai
Kerajaan Matan, kendati
sesungguhnya nama kerajaan
tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura
(Mulia [ed.], 2007:5). Pusat
pemerintahan kerajaan ini
kemudian berpindah lagi yakni
pada 1637 di wilayah Indra Laya.
Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai
Puye, anak Sungai Pawan.
Kerajaan Tanjungpura kembali
beringsut ke Kartapura,
kemudian ke Desa Tanjungpura,
dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton
Muhammad Saunan sekarang
berdiri. Perpindahan ibukota
Kerajaan Sukadana Menurut Catatan Gusti Iswadi,
S.sos dalam buku Pesona Tanah
Kayong, Kerajaan Tanjungpura
dalam perspektif sejarah
disebutkan, bahwa, dari negeri
baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana,
kemudian pindah lagi Ke Sungai
Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir). Dan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut
Kerajaan Indralaya. Indra Laya
adalah nama dari satu tempat di
Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura
karena pindah lagi ke Karta Pura
di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang
(Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke
Muliakarta di Keraton Muhammad
Saunan yang ada sekarang yang
terakhir sebagai pusat
pemerintahan swapraja. Bukti adanya sisa kerajaan ini
dapat dilihat dengan adanya
makam tua di kota-kota
tersebut, yang merupakan saksi
bisu sisa kerajaan Tanjungpura
dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah
Kabupaten Ketapang telah
mengadakan pemugaran dan
pemeliharaan di tempat
peninggalan kerajaan tersebut.
Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari kejayaan
kerajaan tanjungpura di masa
lampau. Dalam melacak jejak raja-raja
yang pernah memimpin Kerajaan
Matan, patut diketahui pula
silsilah raja-raja Kerajaan
Tanjungpura karena kedua
kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat
panjang. Berhubung terdapat
beberapa versi tentang sejarah
dan silsilah raja-raja Tanjungpura
beserta kerajaan-kerajaan lain
yang masih satu rangkaian dengannya, maka berikut ini
dipaparkan silsilahnya menurut
salah satu versi, yaitu
berdasarkan buku Sekilas
Menapak Langkah Kerajaan
Tanjungpura (2007) suntingan Drs. H. Gusti Mhd. Mulia: Kerajaan Tanjungpura 1. Brawijaya (1454–1472)[6] 2. Bapurung (1472–1487)[7] 3. Panembahan Karang Tanjung
(1487–1504) Pada masa pemerintahan
Panembahan Karang Tanjung,
pusat Kerajaan Tanjungpura
yang semula berada di Negeri
Baru dipindahkan ke Sukadana,
dengan demikian nama kerajaannya pun berubah
menjadi Kerajaan Sukadana. Kerajaan Sukadana Peta yang dibuat oleh Oliver van
Noord tahun 1600,
menggambarkan lokasi
Succadano, Tamanpure, Cota Matan, dan Loue[8] 1. Panembahan Karang Tanjung
(1487–1504) 2. Gusti Syamsudin atau Pundong
Asap atau Panembahan Sang
Ratu Agung (1504–1518) 3. Gusti Abdul Wahab atau
Panembahan Bendala (1518–
1533) 4. Panembahan Pangeran Anom
(1526–1533) 5. Panembahan Baroh (1533–
1590) 6. Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma
atau Panembahan Sorgi
(1590–1604) 7. Ratu Mas Jaintan (1604?1622) 8. Gusti Kesuma Matan atau Giri
Mustika atau Sultan
Muhammad Syaifuddin (1622–
1665) Inilah raja terakhir Kerajaan
Sukadana sekaligus raja pertama
dari Kerajaan Tanjungpura yang
bergelar Sultan. Kerajaan Matan 1. Gusti Jakar Kencana atau
Sultan Muhammad Zainuddin
(1665–1724) 2. Gusti Kesuma Bandan atau
Sultan Muhammad Muazzuddin
(1724–1738) 3. Gusti Bendung atau Pangeran
Ratu Agung atau Sultan
Muhammad Tajuddin (1738–
1749) 4. Gusti Kencuran atau Sultan
Ahmad Kamaluddin (1749–
1762) 5. Gusti Asma atau Sultan
Muhammad Jamaluddin (1762–
1819) Gusti Asma adalah raja terakhir
Kerajaan Matan dan pada masa
pemerintahannya, pusat
pemerintahan Kerajaan Matan
dialihkan ke Simpang, dan nama
kerajaannya pun berganti menjadi Kerajaan Simpang atau
Kerajaan Simpang-Matan. Kerajaan
(penambahanschap)
Simpang-Matan 1. Gusti Asma atau Sultan
Muhammad Jamaluddin (1762–
1819). Anak Sultan Ahmad
Kamaluddin 2. Gusti Mahmud atau
Panembahan Anom
Suryaningrat (1819–1845).
Menantu Sultan Ahmad Kamaluddin[9] 3. Gusti Muhammad Roem atau
Panembahan Anom
Kesumaningrat (1845–1889).
Anak Panembahan Anom Suryaningrat[9] 4. Gusti Panji atau Panembahan
Suryaningrat (1889–1920) 5. Gusti Roem atau Panembahan
Gusti Roem (1912–1942) 6. Gusti Mesir atau Panembahan
Gusti Mesir (1942–1943) 7. Gusti Ibrahim (1945) Gusti Mesir menjadi tawanan
tentara Jepang yang berhasil
merebut wilayah Indonesia dari
Belanda pada 1942, karena itulah
maka terjadi kekosongan
pemerintahan di Kerajaan Simpang. Pada akhir masa
pendudukan Jepang di Indonesia,
sekira tahun 1945, diangkatlah
Gusti Ibrahim, anak lelaki Gusti
Mesir, sebagai raja. Namun,
karena saat itu usia Gusti Ibrahim baru menginjak 14 tahun
maka roda pemerintahan
dijalankan oleh keluarga
kerajaan yaitu Gusti Mahmud
atau Mangkubumi yang memimpin
Kerajaan Simpang hingga wafat pada 1952. Kerajaan Kayong-Matan
atau Kerajaan Tanjungpura
II 1. Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat[10] 2. Pangeran Agung 3. Sultan Mangkurat Berputra 4. Panembahan Anom Kesuma
Negara atau Muhammad
Zainuddin Mursal (1829-1833) [11] 5. Pangeran Muhammad Sabran [12] 6. Gusti Muhammad Saunan[13] Menurut Staatsblad van
Nederlandisch Indië tahun 1849,
wilayah kerajaan-kerajaan ini
termasuk dalam wester-afdeeling
berdasarkan Bêsluit van den
Minister van Staat, Gouverneur- Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[14] Meski terpecah-pecah menjadi
beberapa kerajaan, namun
kerajaan-kerajaan turunan
Kerajaan Tanjungpura (Kerajaan
Sukadana, Kerajaan Simpang-
Matan, dan Kerajaan Kayong- Matan atau Kerajaan
Tanjungpura II) masih tetap eksis
dengan pemerintahannya
masing-masing. Silsilah raja-raja
yang pernah berkuasa di
Kerajaan Matan (dan sebelum berdirinya Kerajaan Matan) di
atas adalah salah satu versi
yang berhasil diperoleh. Terdapat
versi lain yang juga
menyebutkan silsilah raja-raja
Matan yang diperoleh dari keluarga Kerajaan Matan sendiri
dengan menghimpun data dari
berbagai sumber (P.J. Veth, 1854;
J.U. Lontaan, 1975; H. von Dewall,
1862; J.P.J. Barth, 1896; Silsilah
Keluarga Kerajaan Matan- Tanjungpura; Silsilah Raja Melayu
dan Bugis; Raja Ali Haji, Tufat al-
Nafis; Harun Jelani, 2004; H.J. de
Graaf, 2002; Gusti Kamboja,
2004), yakni sebagai berikut: Kerajaan Tanjungpura 1. Sang Maniaka atau Krysna Pandita (800 M–?)[15] 2. Hyang-Ta (900–977)[16] 3. Siak Bahulun (977–1025)[17] 4. Rangga Sentap (1290–?)[18] 5. Prabu Jaya/Brawijaya (1447-1461)[19] 6. Raja Baparung, Pangeran
Prabu (1461–1481) 7. Karang Tunjung, Panembahan
Pudong Prasap (1481–1501) 8. Panembahan Kalahirang (1501–1512)[20] 9. Panembahan Bandala (1512–
1538); Anak Kalahirang 10. Panembahan Anom (1538–
1565); Saudara Panembahan
Bandala 11. Panembahan Dibarokh atau
Sibiring Mambal (1565?1590) Kerajaan Matan 1. Giri Kusuma (1590–1608);
Anak Panembahan Bandala 2. Ratu Sukadana atau Putri
Bunku/Ratu Mas Jaintan
(1608–1622); Istri Giri
Kusuma/Anak Ratu Prabu
Landak 3. Panembahan Ayer Mala
(1622–1630); Anak
Panembahan Bandala 4. Sultan Muhammad Syafeiudin,
Giri Mustaka, Panembahan
Meliau atau Pangeran Iranata/
Cakra (1630–1659); Anak/
Menantu Giri Kusuma 5. Sultan Muhammad Zainuddin/
Pangeran Muda (1659–1725);
Anak Sultan Muhammad
Syaeiuddin 6. Pangeran Agung (1710–1711);
Perebutan kekuasaan 7. pembagian kekuasaan,
memimpin kerajaan di Tanah
Merah 1. Pangeran Agung
Martadipura (1725–1730);
Anak Sultan Muhammad
Zainuddin, pembagian
kekuasaan memimpin
kerajaan di Tanah Merah 2. Pangeran Mangkurat/
Sultan Aliuddin Dinlaga
(1728–1749); Anak Sultan
Muhammad Zainuddin,
pembagian kekuasaan di
Sandai dan Tanah Merah 8. pembagian kekuasaan,
memimpin kerajaan di Simpang 1. Pangeran Ratu Agung
(1735–1740); Anak Sultan
Muhammad Zainuddin,
pembagian kekuasaan,
memimpin kerajaan di
Simpang 2. Sultan Muazzidin Girilaya
(1749–1762); Anak
Pangeran Ratu Agung,
memimpin kerajaan di
Simpang 9. Sultan Akhmad Kamaluddin/
Panembahan Tiang Tiga
(1762–1792); Anak Sultan
Aliuddin Dinlaga 10. Sultan Muhammad Jamaluddin,
sebelumnya: Pangeran Ratu,
sebelumnya: Gusti Arma
(1792–1830); Anak Sultan Akhmad Kalamuddin[21] 11. Pangeran Adi Mangkurat
Iradilaga atau Panembahan
Anom Kusuma Negara (1831–
1843); Anak Pangeran
Mangkurat 12. Pangeran Cakra yang Tua
atau Pangeran Jaya Anom
(1843–1845); Sebagai pejabat
perdana menteri, anak
Pangeran Mangkurat 13. Panembahan Gusti Muhammad
Sabran (1845–1908); Anak
Panembahan Anom Kusuma
Negara 14. Pangeran Laksamana Uti
Muchsin (1908–1924); Anak
Panembahan Gusti Muhammad
Sabran 15. Panembahan Gusti Muhammad
Saunan atau Pangeran Mas
(1924–1943); Anak Gusti
Muhammad Busra 16. Majelis Pemerintah Kerajaan
Matan (1943–1948), terdiri
dari Uti Halil (Pg. Mangku
Negara), Uti Apilah (Pg.
Adipati), Gusti Kencana (Pg.
Anom Laksamana) Penggunaan nama kerajaan Saat ini nama kerajaan ini
diabadikan sebagai nama
universitas negeri di Kalimantan Barat yaitu Universitas Tanjungpura di Pontianak, dan juga digunakan oleh TNI Angkatan Darat sebagai nama Kodam di Kalimantan yaitu Kodam XII/Tanjungpura

Sabtu, 26 November 2011

kerajaan tjingal

Cengal (Tjingal) atau Pamukan adalah suatu wilayah pemerintahan swaparaja yang
dikepalai seorang bumiputera
bagian dari Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah kekuasaan Asisten Residen GH Dahmen yang berkedudukan di Samarinda. Pemerintah swapraja daerah
tersebut dikuasakan kepada
seorang kepala bumiputera
adalah Pangeran Muda
Muhammad Arifillah. Wilayahnya
meliputi Daerah Aliran Sungai Cengal, Pamukan Utara, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Sekarang wilayah ini menjadi
sebuah kecamatan di Kabupaten Kotabaru yaitu kecamatan Pamukan Utara. Di Desa Bepara, Bakau, Pamukan Utara terdapat
Makam Ratu Intan puteri Sultan
Banjar yang menderita lumpuh
merupakan pendiri kerajaan di
daerah ini pada periode
sebelumnya. Kedatangan Ratu Intan ke daerah ini diutus oleh
Sultan Banjar untuk memenuhi
permintaan suku Dayak
setempat yang meminta untuk
ditempatkan seorang penguasa
agar daerah tersebut untuk menghindari menjadi sarang
perompak dan aman dari
gangguan bajak laut yang
datang dari daerah lain. Kepala Pemerintahan
1. Pangeran Prabu (Sultan
Sepuh, 1780-1800) sebagai
Raja Bangkalaan,
Sampanahan, Manunggul dan
Cengal. Ia memiliki anak:
Pangeran Nata (Ratu Agung), Pangeran Seria, Pangeran
Muda (Gusti Kemir), Gusti Mas
Alim, Gusti Besar, Gusti
Lanjong, Gusti Alif, Gusti Redja
dan Gusti Ali (Pangeran
Mangku Bumi/Gusti Bajau).
2. Pangeran Nata (Ratu Agung)
bin Pangeran Prabu
(1800-1820), sebagai Raja
Bangkalaan, Sampanahan dan
Manunggul. Pada saat itu
Cengal diserahkan kepada Pangeran Seria.
3. Pangeran Seria bin Pangeran
Prabu (1800-?), sebagai Raja
Bangkalaan, Sampanahan,
Manunggul dan Cengal.
4. Gusti Besar binti Pangeran
Prabu (1820-1830) atau
(18xx-1825) sebagai Raja
Bangkalaan, Sampanahan,
Manunggul, Cengal, Cantung,
Batulicin. Gusti Besar berkedudukan di Cengal.
Cantung dan Batulicin
diserahkan sepeninggal Ratu
Intan. Gusti Besar menikahi Aji
Raden yang bergelar Sultan
Anom dari Kesultanan Pasir. Sultan Sulaiman dari Pasir
menyerbu dan mengambil
Cengal, Manunggul,
Bangkalaan, dan Cantung,
tetapi kemudian dapat
direbut kembali.
5. Kepala Cengal, Manunggul,
Sampanahan yang diangkat
Sultan Pasir.
6. Aji Jawi (1840) (putera Gusti
Besar)(1825-1840): Pangeran
Aji Jawi/Aji Djawa (1840-1841)
sebagai Raja Bangkalaan,
Sampanahan, Manunggul,
Cengal, Cantung dan Batulicin. Pada mulanya Cengal adalah
daerah pertama yang berhasil
direbut kembali, kemudian
Manunggul dan Sampanahan.
Cantung diperolehnya ketika
ia menikahi Gusti Katapi puteri Gusti Muso, penguasa Cantung
sebelumnya yang ditunjuk
ibunya. Bangkalaan
diperolehnya ketika ia
menikahi Gusti Kamil puteri
dari Pangeran Muda (Gusti Kamir) penguasa Bangkalaan
sebelumnya yang ditunjuk
ibunya. Belakangan
Sampanahan diserahkan
kepada pamannya Pangeran
Mangku (Gusti Ali) yang memiliki pewaris laki-laki
bernama Gusti Hina.
7. Aji Tukul (Ratu Intan II/Ratu
Agung) bin Aji Jawi(1845).
Sekitar tahun 1846 sebagai Raja Bangkalaan, Manunggul
dan Cengal. Aji Jawi dan Gusti
Katapi memiliki anak bernama
Aji Tukul dan Aji Landasan.
Sedangkan Aji Jawi dan Gusti
Kamil memiliki anak bernama Aji Mandura, yang menjadi
Raja Cantung. Ratu Intan II
menikahi Aji Pati bergelar
Pangeran Agung berasal dari
Pasir, yang mendampinginya
memegang tampuk pemerintahan sampai
meninggalnya tahun 1846.
Ratu Intan II kemudian
menikahi Abdul Kadir yang
menjadi Raja Kusan, Batulicin
dan Pulau Laut.
8. Aji Pati (Pangeran Agung) bin
Sultan Sulaiman dari Pasir
(1845-1846) sebagai Raja
Bangkalaan, Manunggul dan
Cengal.
9. Aji Samarang (Pangeran Muda
Muhammad Arifbillah) bin Aji
Pati (1846) Pangeran Muda atau lengkapnya Pangeran
Muda Mohammad Arifillah Aji
Samarang sebagai Raja
Bangkalaan, Manunggul,
Cengal.
10. Pangeran Syarif Hasyim al-
Qudsi, (Besluit dd. 24 Maret 1864 no. 15 en als no.104.
11. Aji Mas Rawan (Raja Arga
Kasuma) bin Aji Samarang
(1884-1905) sebagai Raja
Bangkalaan, Manunggul, dan
Cengal.
Afdeeling Pasir en de
Tanah Boemboe
Tjingal merupakan salah satu
daerah landschap dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe menurut Staatblaad tahun 1898
no. 178.

Kerajaan sabamban

Landschap Sabamban/
Sebamban (EYD: Lansekap Sebamban) atauKerajaan Sebamban adalah suatu daerah pemerintahan swapraja yang dikepalai seorang bumiputera bagian dari Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah kekuasaan Asisten Residen GH
Dahmen yang berkedudukan di Samarinda. Pemerintah swapraja daerah tersebut
dikuasakan kepada seorang
kepala bumiputera yaitu Pangeran Syarif Ali, putera dari Syarif Abdurahman Alaydrus Yang Dipertuan Kerajaan Kubu. Sekarang wilayah swapraja ini
menjadi kecamatan Angsana, Sungai Loban dan sebagian Kuranji. Tahun 1849 pemerintah kolonial
Hindia Belanda mengeluarkan
Staatsblad van Nederlandisch
Indië tahun 1849, berdasarkan
Bêsluit van den Minister van
Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27
Agustus 1849, No. 8, daerah
Sebamban ini termasuk dalam
kawasan Tanah Bumbu dalam
wilayah zuid en ooster-afdeeling Daerah Sabamban ini termasuk
daerah-daerah pesisir yang
diserahkan oleh Sultan Adam
pada tahun 1826 kepada Hindia Belanda. Dalam tahun 1853 Landschap
Sebamban berpenduduk sekitar
250 jiwa, tidak termasuk para
penambang, kebanyakan orang
Banjar dan beberapa orang
Bugis. Daerah Sebamban ini menghasilkan intan, emas, batubara, beras, dan kayu. Dalam tahun 1898 Landschap
Sabamban atau menurut istilah
setempat Pulau Sabamban
merupakan salah satu daerah
landschap dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178. Pada masa sekarang ini,
Sebamban menjadi salah satu
daerah penempatan transmigrasi di Kalimantan Selatan. Raja Sabamban Penguasa (bestuurd door,
banjar: lalawangan= pintu))
swapraja Sabamban bergelar
Pangeran (bukan Sultan), yaitu :
1. Pangeran Syarif Ali Al-Idrus
bin Syarif Abdurrahman Al- Idrus
2. Pangeran Syarif Hasan
3. Pangeran Syarif Qasim Al-Idrus bin Syarif Hasan Al-Idrus

kerajaan kusan

Kerajaan Kusan (berdiri 1786), atauLandschap Koesan adalah salah satu kerajaan yang
pernah berdiri di wilayahTanah Kusan atau daerah aliran sungai Kusan, sekarang wilayah ini
termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan bertetangga
dengan wilayah kerajaan Tanah
Bumbu (yang terdiri atas negeri-
negeri: Batu Licin, Cantung,
Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal,
Manunggul, Sampanahan). Di dalam wilayah Tanah Kusan
tersebut juga terdapat Kerajaan Pagatan. Wilayah ini semula merupakan sebagian dari wilayah Kesultanan Banjar yang diserahkan oleh Sunan Nata Alam kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1878. Sejak tahun 1855 Landschap
Koesan mencakup daerah Batulicin dan Pulau Laut Kerajaan Kusan pada mulanya
didirikan Pangeran Amir bin
Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah, keturunan dari Sultan
Kuning (Hamidullah), Sultan
Banjar. Kerajaan Kusan lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan
Pagatan. Pada tahun 1832, Pangeran Haji Musa menjadi Raja
Bangkalaan dan Raja Batulicin
[mencakup pula Pulau Laut dan
negeri Kusan yang dahulu didirikan Pangeran Amir.merupakan ipar dari Sultan Adam, Sultan Banjarmasin. Pada tahun 1845, Pangeran Haji Musa mengangkat puteranya sebagai
Raja Kusan. Penguasa kerajaan Kusan
bergelar Pangeran (bukan
Sultan), Belanda menyebutnya de Pangeran van Koessan.

SEJARAH
Pangeran Amir salah seorang
putera Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah bin Sultan Kuning
(Hamidullah), Sultan Banjar
antara tahun 1759-1761. Ketika Sultan Muhammad mangkat,
ketiga anak-anaknya masih
belum dewasa. Sepeninggal
Sultan Muhammad kekuasaan
kerajaan kembali dipegang oleh
pamannya sekaligus mertuanya Tamjidullah I yang sebelumnya
sudah pernah menjadi Penjabat
Sultan sebelum pemerintahan
Sultan Muhammad, tetapi
dijalankan anak Tamjidullah I
yaitu Pangeran Nata. Ketiga anak Sultan Muhammad yaitu
Pangeran Abdullah, Pangeran
Rahmat dan Pangeran Amir.
Pangeran Abdullah dan Pangeran
Rahmat tewas karena dicekik.
Pangeran Amir yang merasa terancam keselamatannya,
berusaha menghindar dengan
berpura-pura hendak naik haji,
tetapi perahu tidak diarahkan
menuju Mekkah tetapi ke arah
negeri Tanah Bumbu di Kalimantan Tenggara mendatangi
saudara ibunya yaitu Ratu Intan I
yang jadi penguasa di Cantung
dan Batu Licin. Ratu Intan I
adalah anak Ratu Mas binti
Pangeran Dipati Tuha. Ratu Intan I menikah dengan Sultan Pasir,
Sultan Dipati Anom Alamsyah Aji
Dipati (1768-1799). Dengan
dukungan bibinya Pangeran Amir
mendirikan kerajaan Kusan dan
menjadi Raja Kusan I. Tetapi kemudian pemerintah
pusat yaitu penguasa Kerajaan
Kayu Tangi (Kesultanan Banjar)
yang dikuasai dinasti Tamjidullah I
yaitu Panembahan Batu
(Pangeran Nata bin Tamjidullah I) juga mengakui La Pangewa
sebagai Raja Pagatan I, di
kawasan yang sama. La
Pangewa, pemimpin suku Bugis
Pagatan adalah sekutu
Panembahan Batu. La Pangewa (Kapitan Laut Pulo) dengan
pasukan suku Bugis-Pagatan
akhirnya berhasil mengusir
Pangeran Amir hingga ke Kuala
Biaju (sekarang Kuala Kapuas). Pangeran Amir yang merupakan
cucu Sultan Kuning berusaha
menuntut tahta Kesultanan
Banjar dengan dukungan Ratu
Intan I dengan pasukan Bugis-
Paser pernah menyerang pelabuhan Tabaneo di Kesultanan
Banjar akhirnya tertangkap VOC yang sudah mengikat perjanjian
dengan Panembahan Batu.
Pangeran Amir tertangkap pada 14 Mei 1787, kemudian diasingkan ke Srilangka. Pangeran Amir merupakan kakek
dari Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional), kelak
Pangeran Antasari menjadi
Panembahan (Raja Banjar) pasca
diasingkannya ke pulau Jawa tiga
Pangeran penerus Dinasti
Tamjidullah I, sehingga kepemimpinan Kesultanan Banjar
kembali ke tangan keturunan
Sultan Kuning. Dengan diusirnya Pangeran Amir
maka pemerintahan kerajaan
Kusan kemudian beralih kepada
keturunan Panembahan Batu
dari dinasti Tamjidullah I yaitu
dilanjutkan oleh Pangeran Musa bin Sultan Sulaiman menjadi Raja Kusan II. Raja-raja Kusan
merupakan trah Sultan Sulaiman dari Banjar. Ketika pemerintahan raja ke-4, Pangeran Jaya
Sumitra, pusat kerajaan
dipindahkan ke daerah Sigam, Pulau Laut. Pangeran Jaya Sumitra kemudian bergelar Raja
Pulau Laut I dan Batu Licin II.
Wilayah kerajaan Kusan yang
ditinggalkan ini digabung ke
dalam kerajaan Pagatan
sehingga Raja Kusan selanjutnya dipegang oleh Raja Pagatan.
Federasi kedua negeri ini
kemudian disebut kerajaan
Pagatan dan Kusan.

RAJA KUSAN

1. Raja Kusan I : Pangeran Amir
bin Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah (1786)
2. Raja Kusan II : Pangeran Aji
Musa bin Pangeran Aji
Muhammad sebagai raja
Bangkalaan, Batulicin, Kusan (1830-1840). Pangeran Aji Musa meninggal pada bulan Januari 1840.
3. Raja Kusan III : Pangeran
Muhammad Nafis bin Pangeran
Aji Musa Raja Bangkalaan (1840-1845), berkedudukan di negeri Kusan sendiri.
4. Raja Kusan V : Pangeran Jaya
Sumitra bin Pangeran Aji Musa
(sejak 1845), sebagai mangkubumi Pangeran Abdul
Kadir, berkedudukan di negeri
Kusan sendiri. Pangeran Jaya
Sumitra pindah kampung
Salino di pulau Laut dan
menjadi Raja Pulau Laut I.
5. Pangeran Abdul Khadir (Raja
Sigam) bin Pangeran Aji Musa,
Raja negeri Kusan, Batulicin & Pulau Laut. Belakangan negeri Kusan diserahkan
kepada Raja Pagatan.
6. La Paliweng Arung Abdul
Rahim, Raja negeri Pagatan
dan Kusan
7. Ratu Arung Daeng Makau atau Ratu Senggeng

Pangeran Djaja Soemitra adalah
anak dari pangeran M. Nafis dan
menjadi Raja Kusan IV tahun 1840-1850, kemudian ia pindah ke Kampoeng Malino dan menjadi
Raja Pulau Laut I pada tahun 1850-1861

Afdeeling Pasir en de
Tanah Boemboe
Kerajaan Kusan merupakan salah
satu daerah leenplichtige
landschappen dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe menurut Staatblaad tahun 1898
no. 178.

kerajaan pagatan

Kerajaan Pagatan (1775-1908) [1]adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di
wilayahTanah Kusan atau daerah aliran sungai Kusan,
sekarang wilayah ini termasuk
dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan
bertetangga dengan wilayah
kerajaan Tanah Bumbu (yang
terdiri atas negeri-negeri: Batu
Licin, Cantung, Buntar Laut,
Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan). Penguasa Kerajaan Pagatan
disebut Arung (bukan Sultan),
Belanda menyebutnya de Aroeng van Pagattan[2]. Permukiman Pagatan didirikan oleh Puana
Dekke (La Dekke), seorang
imigran suku Bugis atas seijin Sunan Nata Alam atau Panembahan Batuah dari Dinasti Tamjidullah I. Negeri Pagatan
kemudian menjadi sekutu Sunan
Nata Alam untuk menghabisi rival
politiknya yaitu Sultan Amir bin
Sultan Muhammadillah (keturunan
Sultan Kuning) yang menuntut tahta Kesultanan Banjar dengan
dukungan Arung Turawe (Gusti
Kasim) beserta pasukan Bugis-
Paser. Atas keberhasilan
mengusir Sultan Amir dari Tanah
Kusan, La Pangewa/Hasan Pangewa, pemimpin orang Bugis
Pagatan, dilantik Sultan Banjar
sebagai raja Pagatan yang
pertama sekitar tahun 1784. Kerajaan ini semula merupakan
sebagian dari wilayah Kesultanan Banjar selanjutnya menjadi bawahan Hindia Belanda, karena
diserahkan kepada pemerintah
Hindia Belanda dalam Traktat
Karang Intan. Menurut
Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah kerajaan ini merupakan
"leenplichtige landschappen"
dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe. Wilayah Pusat pemerintahan di kota
Pagatan ibukota Kecamatan Kusan Hilir, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Sejarah Wilayah tenggara Kalimantan
semula merupakan satu wilayah
Kerajaan Tanah Bumbu yang
diperintah oleh keturunan Sultan
Banjar dengan pusat kerajaan
kemungkinan dahulu terletak dekat perbatasan Kerajaan Pasir yaitu di negeri Cengal (Pamukan)
seperti halnya Kerajaan Kotawaringin yang berdiri dekat perbatasan Kerajaan Tanjungpura. Raja Kerajaan Tanah Bumbu yang terkenal
adalah Ratu Intan I, dalam
perkembangannya kemudian
terbagi menjadi beberapa
kerajaan kecil atau
kepangeranan, karena rajanya hanya berhak bergelar Pangeran
atau Ratu seperti gelar putra/
putri Sultan Banjar, karena
sebenarnya wilayah tersebut
merupakan cabang Kesultanan
Banjar yaitu keturunan Pangeran Dipati Tuha bi Sultan
Saidullah. Belakangan juga berdiri
beberapa kerajaan kecil seperti Kerajaan Kusan, Sabamban, Batoe Litjin, Poelau Laoet dan Kerajaan Pagatan yang
diperintah oleh keturunan Dinasti
Tamjidullah I dan sekutunya.
Kalau dilihat luas wilayahnya,
semua kerajaan-kerajaan ini
dapat disamakan dengan sebuah lalawangan (distrik) yang ada di
Kesultanan Banjar pada kurun
waktu yang sama. Daerah Pagatan baru ada
sekitar tahun 1750 dibangun oleh Puanna Dekke', hartawan
asal Tanah Bugis tepatnya dari
daerah Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan. Puanna Dekke' berlayar
menuju Kesultanan Pasir, hatinya tidak berkenan sehingga
menyusuri Kerajaan Tanah Bumbu (sekarang Kabupaten Kotabaru) dan belum menemukan
daerah yang dapat dijadikan
permukiman sampai dia
menemukan sungai yang masuk
dalam wilayah Kesultanan Banjar.
Selanjutnya bertolaklah Puanna Dekke' menuju Banjarmasin untuk meminta izin kepada Sultan Banjar (1734) yaitu Panembahan Batu untuk mendirikan
pemukiman di wilayah tersebut,
yang kelak menjadi Kerajaan
Pagatan. Pada akhirnya wilayah
Kerajaan Pagatan dan Kerajaan
Kusan disatukan menjadi semacam federasi dengan
sebutan Kerajaan Pagatan dan
Kusan dan rajanya disebut Raja
Pagatan dan Kusan. Perjanjian Karang Intan Wilayah kerajaan Pagatan
merupakan salah satu daerah Kesultanan Banjar yang diserahkan oleh Sultan Sulaiman
kepada kolonial Hindia-Belanda
melalui Perjanjian Karang Intan. Kapitan Laut Pulo Atas jasa-jasa La Pangewa dan
pasukannya mengempur pasukan
Pangeran Amir bin Sultan Kuning
yang menjadi rival dari Sultan Tahmidullah II dalam perebutan mahkota kesultanan Banjar, dia
anugerahi gelar Kapitan Laut Pulo[3] mungkin semacam panglima laut yang menjaga
perairan setempat, selanjutnya
menjadi raja di daerah Pagatan.
Walaupun demikian, Sultan Banjar
masih curiga dengan Kapitan
Laut-Pulau seperti surat yang terlihat dalam surat kepada
Blom:
Surat dari Seri Paduka Sultan
Banjar kepada tuan Blom:
"Bahwa ini warkatul ikhlas serta
suci hati, yang tiada berhingga adanya, serta kirim tabek begitu
banyak dari pada sultan Banjar
kepada sahabat kita petor Willem
Blom, yang beroleh selamat umur
panjang dalam dunia adanya. Wa
ba'du kemudian dari pada itu, barang maklum apalah kiranya
kepada sahabat kita, adalah kita
melayangkan warkat ini peri hal
menyatakan, yang kita dapat
kabar dari Kapitan Laut Pulau,
minta senjata poer pukul ilanun. Maka yaitu Kompeni jangan
begitu percaya sama kapitan itu
punya perkataan, karena kita
banyak dapat dia punya dusta,
dan barangkali dia punya kerja
jahat pada negeri-negeri Banjar kembali, jadi bagaimana Kota
Waringin. Maka perkara Kapitan
Laut Pulau ini sahabat kita kasih
ingat pada Kompeni adanya.
Tersurat pada hari Jumat,
delapan likur hari bulan Ramadan, tarikh 1220[4] Afdeeling Pasir en de
Tanah Boemboe (Kalimantan Tenggara) Kerajaan Pagatan merupakan
salah satu daerah leenplichtige
landschappen dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe. Menurut Staatblaad tahun 1898
no. 178, wilayah Afdeeling Pasir
en de Tanah Boemboe, dengan
ibukota Kota Baru, terdiri dari daerah-daerah leenplichtige
landschappen dan daerah
landschap yang langsung
diperintah kepala
bumiputeranya :
1. Pasir
2. Pegatan
3. Koensan
4. Tjingal
5. Manoenggoel
6. Bangkalaan
7. Sampanahan
8. Tjangtoeng
9. Batoe Litjin
10. Sabamban dan
11. Poelau Laoet (Pulau Laut)dengan pulau Seboekoe (Pulau Sebuku) Raja Pagatan dan Kusan
1 1755-1800 La Pangewa Raja
Pagatan I
yang diberi
gelar
Kapitan
Laut Pulo oleh
Panembahan
Batu
2 1830-1838 La Palebi Raja
Pagatan II
3 1838-1855 La Paliweng
(Arung Abdul Rahman) Raja
Pagatan III
4 1855-1863 La Matunra
(Arung Abdul
Karim) Raja
Pagatan
dan Kusan
5 1863-1871 La Makkarau
6 1871-1875 Abdul Jabbar Raja
Pagatan
dan Kusan
7 1875-1883 Ratu
Senggeng
(Daeng
Mangkau) Ratu
Pagatan
dan Kusan
8 1883-1893 H Andi
Tangkung
(Petta Ratu) Raja
Pagatan
dan Kusan
9 1893-1908 Andi Sallo
(Arung
Abdurahman) Raja
Pagatan
dan Kusan Penggabungan Pagatan dan
Kusan (1850) Pangeran Djaja Soemitra anak
dari pangeran M. Nafis dan
menjadi Raja Kusan IV tahun
1840-1850, kemudian ia pindah
ke Kampung Malino dan menjadi
Raja Pulau Laut I pada tahun 1850-1861. Sejak itu
pemerintahan kerajaan Kusan
digabung dengan kerajaan
Pagatan.

Rabu, 23 November 2011

Kesultanan banjar




foto gadis banjar sekitar tahun 1850 koleksi museum lambung mangkurat





Foto Bangsawan banjar sekitar tahun 1850 Koleksi museum lambung mangkurat


Berdiri 1520-1860
Didahului oleh Kerajaan Negara Daha
Digantikan oleh Pagustian
Ibu kota Kuin, Banjarmasin (1520) Pemakuan (1612) Tambangan/Batang Banyu Mangapan (1622) Martapura (1632) Sungai Pangeran, Banjarmasin (1663) Kayu Tangi (1680) Bumi Kencana (1771) atau Bumi Selamat (1806) Sungai Mesa, Banjarmasin(1857) Baras Kuning (1865)
Bahasa Banjar
Agama Islam Sunni mazhab Syafi'i (resmi)
Kaharingan
Konghucu
Nasrani
Pemerintahan monarki

-Sultan pertam Sultan Suriansyah (1526-1550)
-sultan terakhir Sultan Muhammad Seman (1862-1905)

Sejarah
-Didirikan 1520,masuk islam 1526
-Zaman kejayaan 1526-1787
-Protektorat VOC sejak 1787
-Krisis suksesi 1857
-Akhir pemerintahan darurat 1905

Catatan (1526-1548 sebagai bawahan Demak)
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin(berdiri 1520, masuk Islam 24 September
1526, dihapuskan Belanda 11 Juni
1860, pemerintahan darurat/
pelarian berakhir 24 Januari
1905) adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke
dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura disebut
juga Kerajaan Kayu Tangi. Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebutKesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota
di kota Negara, sekarang
merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai
Selatan.
SEJARAH
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan
Selatan), kerajaan pertama
adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah
kekuasaannya terbentang luas
mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan
yang menceritakan tentang
masa-masa keemasan Kerajaan
Nan Sarunai sebuah kerajaan
purba yang dulunya
mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan
hubungan dengan pulau
Madagaskar. Kerajaan ini
mendapat serangan dari Jawa (Majapahit)sehingga sebagian rakyatnya menyingkir
ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang
berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14
terhadap sampel arang Candi
Agung yang menghasilkan angka
tahun dengan kisaran 242-226
SM (Kusmartono dan Widianto,
1998:19-20). Menilik dari angka tahun
dimaksud maka Kerajaan Nan
Sarunai/Kerajaan Tabalong/
Kerajaan Tanjungpuri usianya
lebih tua 600 tahun dibandingkan
dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur. Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-
raja Banjar adalah Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang
menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang Kuala), raja-raja Dompu (Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata.
Sesuai Tutur Candi (Hikayat
Banjar versi II), di Kalimantan
Selatan telah berdiri suatu
pemerintahan dari dinasti
kerajaan (keraton) yang terus
menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda sejak 11 Juni 1860, yaitu :

1. Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
2. Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
3. Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
4. Keraton III disebut Kesultanan Banjar
5. Keraton IV disebut Kerajaan
Martapura/Kayu Tangi
6. Keraton V disebut Pagustian
Maharaja Sukarama, Raja Negara
Daha telah berwasiat agar
penggantinya adalah cucunya
Raden Samudera, anak dari
putrinya Puteri Galuh Intan Sari.
Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya,
putra dari Raden Begawan,
saudara Sukarama. Wasiat
tersebut menyebabkan Raden
Samudera terancam
keselamatannya karena para Pangeran juga berambisi sebagai
pengganti Sukarama yaitu
Pangeran Bagalung, Pangeran
Mangkubumi dan Pangeran
Tumenggung. Sepeninggal
Sukarama, Pangeran Mangkubumi putra Sukarama menjadi Raja
Negara Daha, selanjutnya
digantikan Pangeran
Tumenggung yang juga putra
Sukarama. Raden Samudera
sebagai kandidat raja dalam wasiat Sukarama terancam
keselamatannya, tetapi berkat
pertolongan Arya Taranggana,
mangkubumi kerajaan Daha, ia
berhasil lolos ke hilir sungai
Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih (Kepala Kampung
Banjarmasih) dan dijadikan raja
Banjarmasih sebagai upaya
melepaskan diri dari Kerajaan
Negara Daha dengan mendirikan
bandar perdagangan sendiri dan tidak mau lagi membayar upeti.
Pangeran Tumenggung, raja
terakhir Kerajaan Negara Daha akhirnya menyerahkan regalia
kerajaan kepada keponakannya
Pangeran Samudera, Raja dari
Banjarmasih. Setelah mengalami
masa peperangan dimana Banjar
memiliki empat laksa (40.000) prajurit setelah mendapat
tambahan pasukan dari daerah-
daerah pesisir Kalimantan dan
Kesultanan Demak. Pada masa
kejayaannya Kesultanan Demak
memiliki 1000 jung yang masing- masing memuat 400 prajurit
Hasil akhirnya kekuasaan
kerajaan beralih kepada
Pangeran Samudera yang
menjadi Sultan Banjar yang
pertama, sementara Pangeran
Tumenggung mundur ke daerah Alay di pedalaman dengan seribu penduduk. Tomé Pires melaporkan bahwa Tanjompure (Tanjungpura/
Sukadana) dan Loue (Lawai)
masing-masing kerajaan tersebut
dipimpin seorang Patee (Patih).
Patih-patih ini tunduk kepada Patee Unus, penguasa Demak.Kemungkinan besar penguasa Sambas dan Banjarmasin juga telah
ditaklukan pada masa
pemerintahan Sultan Demak Pati
Unus/Pangeran Sabrang Lor
(1518-1521) sebelum penyerbuan
ke Malaka.
MASA KEJAYAAN
Kesultanan Banjar mulai
mengalami masa kejayaan pada
dekade pertama abad ke-17
dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat
daya, tenggara dan timur pulau
Kalimantan membayar upeti pada
kerajaan Banjarmasin.
Sebelumnya Kesultanan Banjar
membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada
masa Kesultanan Pajang penerus
Kesultanan Demak, Kesultanan
Banjar tidak lagi mengirim upeti
ke Jawa. Supremasi Jawa terhadap
Banjarmasin, dilakukan lagi oleh
Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan
bantuan Madura (Arosbaya) dan
Surabaya, tetapi gagal karena
mendapat perlawanan yang sengit.
Sultan Agung dari Mataram
(1613–1646), mengembangkan
kekuasaannya atas pulau Jawa
dengan mengalahkan pelabuhan-
pelabuhan pantai utara Jawa
seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura
(1924) dan Surabaya (1625).
Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program
penjajahannya terhadap
kerajaan sebelah selatan, barat
daya dan tenggara pulau
Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas
Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring dengan hal itu, karena
merasa telah memiliki kekuatan
yang cukup dari aspek militer
dan ekonomi untuk menghadapi
serbuan dari kerajaan lain,
Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin,
Pembuang, Sampit, Mendawai,
Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu,
Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui,
Asam Asam, Kintap dan
Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi
serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah
tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran
sebagai akibat dari korban
agresi politik Sultan Agung.
Kedatangan imigran dari Jawa
mempunyai pengaruh yang
sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau
Kalimantan menjadi pusat difusi
kebudayaan Jawa. Disamping menghadapi rencana
serbuan-serbuan dari Mataram,
kesultanan Banjarmasin juga
harus menghadapi kekuatan
Belanda. Pada tahun 1637
Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian setelah
hubungan yang tegang selama bertahun-tahun.
Perang Makassar (1660-1669)
menyebabkan banyak pedagang
pindah dari Somba Opu,
pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin. Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebutdoit.
Sebelum dibagi menjadi beberapa
daerah (kerajaan kecil), wilayah
asal Kesultanan Banjar meliputi
provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar
(Ketapang) dan sebelah timur
berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah
pecahannya, rajanya bergelar
Pangeran, hanya di Kesultanan
Banjar yang berhak memakai
gelar Sultan. Kesultanan-
kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar,
termasuk Kesultanan Pasir yang
ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda. Kesultanan Banjarmasin
merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan. Sultan Banjar menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.

Minggu, 20 November 2011

Kerajaan negara dipa

Negara Dipa Berdiri 1387-1495
Didahului oleh Kerajaan Kuripan
Digantikan
oleh Kerajaan Negara Daha
Ibu kota dan Bandar
Perdagangan Candi Laras (ibukota I) Candi Agung (ibukota II) Bandar Muara Rampiau
(Bandar Perdagangan)
Bahasa Banjar Klasik
Agama Syiwa-Buddha Kaharingan
Pemerintahan monarki
-Raja pertama Ampu
Djatmaka sejak ±1387
-raja terakhir Putri Kalungsu sampai 1495.
Sejarah
-Didirikan 1387
-Zaman kejayaan 1387-1495
-Krisis suksesi 1495
Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang berada di
pedalaman Kalimantan Selatan.
Kerajaan ini adalah pendahulu
Kerajaan Negara Daha. Kerajaan
Negara Daha terbentuk karena
perpindahan ibukota kerajaan dari Amuntai (ibukota Negara-
Dipa di hulu) ke Muhara Hulak (di
hilir). Sejak masa pemerintahan Lambung Mangkurat wilayahnya terbentang dari Tanjung Silat
sampai Tanjung Puting Kerajaan Negara Dipa memiliki
daerah-daerah bawahan yang
disebut Sakai, yang masing-
masing dipimpin oleh seorang Mantri Sakai. Sebuah pemerintahan Sakai kira-kira
sama dengan pemerintahan
lalawangan (distrik) pada masa
Kesultanan Banjar. Salah satu
negeri bawahan Kuripan adalah
Negara Dipa. Menurut Hikayat Banjar, Negara Dipa merupakan sebuah negeri yang didirikan
Ampu Jatmika yang berasal dari Keling (Coromandel).[3] Menurut Veerbek (1889:10) Keling,
propinsi Majapahit di barat daya Kediri.Menurut Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal
Kepulauan Indonesia dan
Senanjung Malaysia, hal 401 dan
435, Empu Jamatka (maksudnya
Ampu Jatmika) mendirikan pada
tahun 1387, dia berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmika
menjabat sebagai Sakai di
Negara Dipa (situs Candi Laras) (Margasari). Ampu Jatmika bukanlah keturunan bangsawan
dan juga bukan keturunan raja-
raja Kuripan, tetapi kemudian dia
berhasil menggantikan
kedudukan raja Kuripan sebagai
penguasa Kerajaan Kuripan yang wilayahnya lebih luas tersebut,
tetapi walau demikian Ampu
Jatmika tidak menyebut dirinya
sebagai raja, tetapi hanya
sebagai Penjabat Raja
(pemangku). Penggantinya Lambung Mangkurat (Lembu Mangkurat) setelah bertapa di
sungai berhasil memperoleh Putri
Junjung Buih yang kemudian
dijadikan Raja Putri di Negara
Dipa. Raja Putri ini sengaja
dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang Pangeran yang sengaja
dijemput dari Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak bergelar
Pangeran Suryanata I. Keturunan
Lambung Mangkurat dan
keturunan mereka berdua inilah
yang kelak sebagai raja-raja di
Negara Dipa. Menurut Tutur Candi, Kerajaan
Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika
sebagai anaknya sendiri maka
setelah dia tua dan mangkat
kemudian seluruh wilayah
kerajaannya (Kahuripan)
dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah
yang didiami oleh Empu Jatmika.
(Fudiat Suryadikara, Geografi
Dialek Bahasa Banjar Hulu,
Depdikbud, 1984) Kerajaan Negara Dipa semula
beribukota di Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir sungai Bahan tepatnya pada suatu
anak sungai Bahan, kemudian
ibukotanya pindah ke hulu sungai
Bahan yaitu Candi Agung
(Amuntai), kemudian Ampu Jatmika menggantikan
kedudukan Raja Kuripan (negeri
yang lebih tua) yang mangkat
tanpa memiliki keturunan,
sehingga nama Kerajaan Kuripan
berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa. Ibukota waktu itu
berada di Candi Agung yang terletak di sekitar hulu sungai
Bahan (= sungai Negara) yang
bercabang menjadi sungai
Tabalong dan sungai Balangan
dan sekitar sungai Pamintangan
(sungai kecil anak sungai Negara). Kerajaan ini dikenal sebagai
penghasil intan pada zamannya.
Raja Negara Dipa
1. Periode Raja-raja Kuripan
yang tidak diketahui nama
penguasa dan masa
pemerintahannya. Kerajaan
Kuripan ini disebutkan dalam
Hikayat Banjar Resensi II.
2. Ampu Jatmaka gelar Maharaja
di Candi, saudagar kaya dari Keling pendiri Negara Dipa tahun 1387 dengan mendirikan negeri Candi Laras
di hilir kemudian mendirikan
(atau menaklukan?) negeri
Candi Agung di hulu di sebalik
negeri Kuripan. Ampu Jatmaka
sebagai penerus ayah angkatnya raja tua Kerajaan
Kuripan [= raja negeri lama
yang berdiri sebelumnya] yang
tidak memiliki keturunan,
tetapi Ampu Jatmaka
mengganggap dirinya hanya sebagai Penjabat Raja. Ketiga
negeri/distrik ini dan ditambah
negeri Batung Batulis dan
Baparada (= Balangan) yang
muncul di dalam Hikayat
Banjar Resensi II teks Cense, maka inilah wilayah awal
Negara Dipa. Kemudian Empu
Jatmika memerintahkan
Tumenggung Tatahjiwa
memperluas wilayah dengan
menaklukan batang Tabalong, batang Balangan dan batang
Pitap. Ia jua memerintahkan
Arya Megatsari menaklukan
batang Alai, batang Labuan
Amas dan batang Amandit.
Widuga wilayah inilah yang menjadi ibukota baru
Tanjungpura di negara bagian
Tanjungnagara (Kalimantan-
Filipina).
3. Lambung Mangkurat [= logat Banjar untuk Lembu
Mangkurat] bergelar Ratu
Kuripan, putera Ampu Jatmika
(sebagai Penjabat Raja). Ia
berhasil memperluas wilayah
kerajaan dari Tanjung Silat/ Selatn sampai Tanjung Puting
yaitu wilayah dari sungai
Barito sampai sungai Seruyan.
4. Raden Galuh Ciptasari alias
Putri Ratna Janggala Kadiri
gelar anumerta Putri Junjung
Buih [= perwujudan putri buih/
putri bunga air menurut mitos
Melayu] yaitu puteri angkat Lambung Mangkurat, diduga
Ratu I ini berasal dari
Majapahit yang disebut Bhre
Tanjungpura. Menurut
Pararaton, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah
Suragharini yang berkuasa 1429-1464 adalah puteri Bhre Tumapel II 1389-1427 [= abangnya Suhita] dengan istrinya Bhre Lasem V. Bhre
Tanjungpura [= Bhre
Kalimantan] dan Bhre Pajang III
Sureswari 1429-1450 [= adik bungsu Manggalawardhani]
keduanya menjadi istri Bhre
Paguhan III 1400-1440 [= ayahnya Sripura] tetapi
perkawinan ini tidak memiliki
keturunan (menurut
Pararaton). Diduga Bhre
Tanjungpura menikah lagi
dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah
Wijayakumara. Menurut
Prasasti Trailokyapuri
Manggalawardhani adalah
Bhre Daha VI 1464-1474 yakni ibu Ranawijaya (janda Sang Sinagara).
5. Rahadyan Putra alias Raden
Aria Gegombak Janggala
Rajasa gelar anumerta
Maharaja Suryanata [=
perwujudan raja dewa
matahari], suami Putri Junjung Buih yang dilamar/didatangkan
dari Majapahit dengan
persembahan 10 biji intan. Raja ini berhasil menaklukan
raja Sambas, raja Sukadana/
Tanjungpura, orang-orang
besar/penguasa Batang Lawai
(= sungai Kapuas), orang
besar/penguasa Kotawaringin, orang besar Pasir, raja Kutai,
orang besar Berau dan raja
Karasikan. Menurut Hikayat
Banjar Versi II, pasangan ini
memperoleh tiga putera yakni Pangeran Suryawangsa, Pangeran
Suryaganggawangsa dan Pangeran Aria Dewangsa [adi-vamsa = pengasas
dinasti]. Ketiga putera ini
memerintah di daerah yang
berlainan (a) Undan Besar dan
Undan Kuning, (b) Undan Kulon
dan Undan Kecil (c) Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis dan Baparada [= Batu Piring?] serta Kuripan. Setelah beberapa lama memerintah
[pada tahun 1464?] Putri
Junjung Buih dan Maharaja
Suryanata mengatakan
hendak pulang ke tempat
asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh putera-
puteranya. NamaRajasa yang digunakan raja ini
kemungkinan kependekan dari Rajasawardhana aliasDyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, yaitu putera sulung
Bhre Tumapel III Dyah
Kertawijaya 1429-1447. Dyah Wijayakumara [= Bhre
Kahuripan VI] memiliki istri
bernama Manggalawardhani Bhre
Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat
orang anak, yaitu
Samarawijaya [= Bhre
Kahuripan VII], Wijayakarana,
[= Bhre Mataram V],
Wijayakusuma (= Bhre Pamotan II), dan Ranawijaya (=
Bhre Kertabhumi= Kartapura?
= Tanjungpura?).
6. Aria Dewangsa putera bungsu
Putri Junjung Buih dengan
Maharaja Suryanata (Hikayat
Banjar versi II), menikahi Putri
Mandusari alias Putri Huripan
[yang ibunya meninggal ketika melahirkannya] gelar Putri
Kabu Waringin [karena minum
air susu kerbau putih yang
diikat di pohon beringin] yaitu
puteri dari Lambung
Mangkurat (= Ratu Kuripan) dengan Dayang Diparaja.
7. Raden Sekar Sungsang, cucu Putri Junjung Buih dan juga
cucu Lambung Mangkurat
adalah putera dari pasangan
Pangeran Aria Dewangsa
dengan Putri Kabu Waringin
menurut Hikayat Banjar versi II, tetapi menurut Hikayat
Banjar versi I adalah cicit
Putri Junjung Buih dan juga
cicit Lambung Mangkurat.
Menurut versi II, Raden Sekar
Sungsang [= Panji Agung Rama Nata] pernah merantau ke
Jawa [dan diduga sudah
memeluk Islam] dan di Jawa ia mengawini wanita setempat
dan memperoleh dua putera
bernama Raden Panji Dekar
dan Raden Panji Sekar [yang
kemudian bergelar Sunan
Serabut karena menikahi puteri Raja Giri]. Sunan Serabut dari Giri inilah yang
menuntut upeti kepada Putri
Ratna Sari gelar Ratu Lamak
(puteri dari Raden Sekar
Sungsang dengan Putri Ratna
Minasih yang menggantikannya sebagai
raja). Ratu Lamak kemudian
digantikan adiknya Ratu Anom
yang pernah ditawan ke Jawa
karena gagal membayar upeti. Menurut Hikayat Banjar versi I,
ibu Raden Sekar Sungsang yaitu
Putri Kalungsu alias Putri Kabu
Waringin, permaisuri Maharaja
Carang Lalean (= Aria
Dewangga?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar
Sungsang masih berumur enam
tahun sewaktu Maharaja Carang
Lalean (= Raden Aria Dewangsa?)
mengatakan bahwa ia hendak
pulang ke tempat asalnya (dan jika raja ini putera
Manggalawardhani maka
kemungkinan kepulangannya ke
tempat asal/Majapahit untuk
membantu kakaknya
Samarawijaya berperang melawan pamannya Raja
Majapahit?). Maharaja Carang
Lalean kemudian melantik
Lambung Mangkurat sebagai
pemangku. Pada masa Maharaja Sari
Kaburungan alias Raden Sekar Sungsang, putera dari Putri Kabu Waringin alias Putri Kalungsu,
untuk menghindari bala bencana
ibukota kerajaan dipindahkan
dari Candi Agung (Amuntai)
karena dianggap sudah
kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke arah
hilir pada percabangan anak
sungai Bahan yaitu Muara Hulak
yang kemudian diganti menjadi
Negara Daha (sekarang
kecamatan Daha Selatan) sehingga kerajaan disebut
dengan nama yang baru sesuai
letak ibukotanya ketika
dipindahkan yaitu Kerajaan
Negara Daha. Nama sungai Bahan
pun berganti menjadi sungai Negara.

Kerajaan kuripan

kerajaan kuripan
berdiri sampai 1387
di gantikan oleh kerajaan negara dipa
Ibu kota Kuripan
bahasa banjar archais
agama syiwa-budha,kaharingan
pemerintahan monarki
-raja pertama ratu kuripan
-raja terakhir ratu kuripan
Sejarah
-di dirikan xxxx
-zaman kejayaan xxxx-1387
-krisis suksesi 1387
Kerajaan Kuripan, atau disebut pulaKahuripan, adalah kerajaan kuno yang beribukota di kecamatan Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Kerajaan Kuripan berlokasi di sebelah hilir dari
negeri Candi Agung (Amuntai Tengah). Diduga pusat pemerintahan
kerajaan ini berpindah-pindah di
sekitar Kabupaten Hulu Sungai
Utara dan Kabupaten Tabalong saat ini. Kabupaten Tabalong
terletak di sebelah hulu dari
Kabupaten Hulu Sungai Utara,
karena di kawasan Kabupaten
Hulu Sungai Utara sungai Bahan/
sungai Negara bercabang ke arah hulunya menjadi dua yaitu
daerah aliran sungai Tabalong
dan daerah aliran sungai
Balangan. Menurut kebiasaan di Kalimantan, penamaan sebuah sungai biasanya berdasarkan
nama kawasan yang ada di
sebelah hulunya. Karena itu
penamaan sungai Tabalong
berdasarkan nama daerah yang
ada di sebelah hulu dari sungai tersebut, yang pada zaman
Hindia Belanda disebut Distrik Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak sungai Bahan, sedangkan
sungai Bahan adalah anak sungai Barito yang bermuara ke laut Jawa. Diduga nama Kerajaan Kuripan
sebutan lain dari Kerajaan
Tabalong yang disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis pujangga Majapahit yakni Mpu Prapanca pada tahun 1365. Sebutan Kerajaan Tabalong
berdasarkan nama kawasan
dimana kerajaan tersebut
berada. Sedangkan nama Kuripan
mungkin nama ibukotanya saat
itu. Nama Kuripan diduga adalah nama lama kota Amuntai di
Kabupaten Hulu Sungai Utara
yang terletak di sekitar muara
sungai Tabalong. Menurut Tutur Candi, Kerajaan
Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika
sebagai anaknya sendiri maka
setelah dia tua dan mangkat
kemudian seluruh wilayah
kerajaannya (Kahuripan)
dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah
yang didiami oleh Empu Jatmika.
(Fudiat Suryadikara, Geografi
Dialek Bahasa Banjar Hulu,
Depdikbud, 1984 Kerajaan Kuripan ini diduga
adalah kerajaan yang sama
dengan Kerajaan Tanjungpuri
atau Kerajaan Nan Sarunai atau
mungkin pula Nan Sarunai adalah
bawahan dari Kuripan. Selanjutnya kekuasaan kerajaan
orang pribumi kemudian
digantikan penguasa baru
daerah ini yaitu Dinasti Negara
Dipa yang berdarah Majapahit. Pemerintahan suku Maanyan di
kerajaan Nan Sarunai mendapat
serangan dari Jawa (Majapahit)
sebanyak dua kali yang disebut
orang Maanyan dengan istilah
Nansarunai Usak Jawa, sehingga suku Maanyan menyingkir ke
pedalaman pada daerah yang
dihuni suku Lawangan kecuali
sebagian yang kemudian
bergabung ke dalam
pemerintahan orang Majapahit. Diduga serangan yang kedua
adalah serangan dari Pangeran
Surya Nata I yang telah
mengokohkan kedudukannya
sebagai Raja Negara Dipa setelah
menikah dengan Putri Junjung Buih. Menurut orang Maanyan,
kerajaan Nan Sarunai ini telah
ada pengaruh Hindu, yaitu
adanya pembakaran tulang-
tulang dalam upacara kematian
suku Maanyan, yang merupakan aliran Hindu-Kaharingan,
sebelumnya tidak dikenal
pembakaran tulang-tulang dalam
agama Kaharingan yang asli.
Periode Kerajaan Kuripan/Nan
Sarunai ini sezaman dengan Kerajaan Kutai Martadipura, sedangkan Periode Negara Dipa
sezaman dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yaitu di masa kerajaan Majapahit. Negara Dipa merupakan kerajaan yang multi-
etnik yang pertama di
Kalimantan Selatan.

Negara daha

Negara Daha Berdiri 1478-1526
Didahului oleh Kerajaan Kuripan
Digantikan
oleh Kesultanan Banjar
Ibu kota dan Bandar
Perdagangan Nagara, Hulu Sungai Selatan
Bandar Muara Bahan, Barito
Kuala (Bandar Perdagangan) Bahasa Banjar Klasik
Agama Syiwa-Buddha Kaharingan
Islam (minoritas) Pemerintahan Monarki
-Raja pertama Maharaja sari kaburangan sejak ±1478
-raja terakhir Maharaja Tumenggung sampai tahun 1526.
Sejarah
-Didirikan 1478
-Zaman kejayaan 1478-1526
-Krisis suksesi 1526

Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan Hindu (Syiwa- Buddha)yang pernah berdiri di Kalimantan Selatan sejaman dengan kerajaan Islam Giri Kedaton. Kerajaan Negara Dipa merupakan pendahulu Kesultanan
Banjar. Pusat pemerintahan/
ibukota kerajaan ini berada di
Muhara Hulak/kota Negara
(sekarang kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan), sedangkan bandar perdagangan
dipindahkan dari pelabuhan lama
Muara Rampiau (sekarang desa Marampiau) ke pelabuhan baru pada Bandar Muara Bahan (sekarang kota Marabahan, Barito Kuala). Kerajaan Negara Daha
merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/ Candi Agung, (sekarang kota Amuntai). Pemindahan ibukota dari Kuripan adalah untuk
menghindari bala bencana karena
kota itu dianggap sudah
kehilangan tuahnya. Pusat
pemerintahan dipindah ke arah
hilir sungai Negara (sungai Bahan) menyebabkan nama
kerajaan juga berubah sehingga
disebut dengan nama yang baru
sesuai letak ibukotanya yang
ketiga ketika dipindahkan yaitu
Kerajaan Negara Daha.
Raja Negara Daha
Raja-raja Negara Daha:
1. Raden Sakar Sungsang/Raden Sari Kaburungan/Ki Mas Lalana
bergelar Maharaja Sari Kaburungan atau Panji Agung Rama Nata putera dari Putri Kalungsu/Putri Kabu
Waringin, ratu terakhir Negara Dipa
2. Raden Sukarama bergelar
Maharaja Sukarama, kakek
dari Sultan Suriansyah (Sultan Banjar I)
3. Raden Paksa bergelar Pangeran Mangkubumi
4. Raden Panjang bergelar Pangeran Tumenggung Wilayah pengaruh kerajaan ini
meliputi propinsi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah,
sebelah barat berbatasan
dengan Kerajaan Tanjungpura, sedangkan sebelah timur
berbatasan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara. Islam datang ke daerah
Kalimantan Selatan dari Giri di masa Raden Sekar Sungsang
yang pernah merantau ke pulau
Jawa dan disana telah memiliki
anak bernama Raden Panji Sekar
yang menikahi putri dari Sunan Giri kemudian bergelar Sunan Serabut.Tetapi Islam baru menjadi agama negara pada
tahun 1526 di masa kekuasaan Sultan Suryanullah atau Sultan Suriansyah. Aksara Arab- Melayu telah digunakan sebelum
berdirinya Kesultanan Banjar. Karena kemelut di Kuripan/ Negara Daha, beberapa tumenggung melarikan diri ke negeri Paser di perbatasan
Kerajaan Kutai Kartanegara dan
kemudian mendirikan Kerajaan Sadurangas di daerah tersebut(wikipedia)

Sabtu, 19 November 2011

Musik Panting


Musik Panting adalah musik tradisional dari suku Banjar di Kalimantan Selatan. Disebut musik Panting karena didominasi oleh
alat musik yang dinamakan
Panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka
disebut musik Panting.
SEJARAH
Pada awalnya musik Panting
berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting
merupakan alat musik yang
dipetik yang berbentuk seperti
gambus Arab tetapi ukurannya
lebih kecil. Pada waktu dulu musik
panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo.
Karena semakin majunya
perkembangan zaman dan musik
Panting akan lebih menarik jika
dimainkan dengan beberapa alat
musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan
dengan alat-alat musik seperti
babun, gong,dan biola dan
pemainnya juga terdiri dari
beberapa orang. Nama musik
panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada
musik Panting yang terkenal alat
musiknya dan yang sangat
berperan adalah Panting,
sehingga musik tersebut dinamai
musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama
sebagai musik Panting adalah A.
Sarbaini. Dan sampai sekarang ini
musik Panting terkenal sebagai
musik tradisional yang berasal
dari Kalimantan Selatan.
TOKOH-TOKOH
Pada umumnya orang yang
memainkan musik Panting adalah
masyarakat Banjar. Tokoh yang
paling terkenal sebagai pemain
Panting adalah A. Sarbaini. Dan
ada juga grup-grup musik Panting yang lain. Tetapi
sekarang ini seiring dengan
adanya perkembangan zaman
grup musik Panting menjadi
semakin sedikit bahkan jarang
ditemui.
ALAT-ALAT MUSIK
Alat-alat musik Panting terdiri
dari :
->Panting, alat musik yang
berbentuk seperti gabus Arab
tetapi lebih kecil dan memiliki
senar. Panting dimainkan
dengan cara dipetik.
->Babun, alat musik yang
terbuat dari kayu berbentuk
bulat, ditengahnya terdapat
lubang, dan di sisi kanan dan
kirinya dilapisi dengan kulit
yang berasal dari kulit kambing. Babun dimainkan
dengan cara dipukul.
->Gong, biasanya terbuat dari aluminium berbentuk bulat
dan ditengahnya terdapat
benjolan berbentuk bulat.
Gong dimainkan dengan cara
dipukul.
->Biola, sejenis alat gesek.
->Suling bambu, dimainkan dengan cara ditiup.
->Ketipak, bentuknya mirip
tarbang tetapi ukurannya
lebih kecil, dan kedua sisinya
dilapisi dengan kulit.
->Tamburin, alat musik pukul
yang terbuat dari logam tipis
dan biasanya masyarakat
Banjar menyebut tamburin
dengan nama guguncai.
CARA PENYAJIAN
Menurut cara penyajiannya
Panting termasuk jenis musik
ansambel campuran. Karena
terdiri dari berbagai jenis alat
musik. Dalam pertunjukan musik
Panting, biasanya jumlah pantingnya sebanyak 3 buah dan
ditambah alat-alat musik lainnya.
Musik panting disebut juga
dengan nama japin apabila
penyajiannnya diiringi dengan
tarian. Musik panting disajikan dengan lagu-lagu yang biasanya
bersyair pantun. Pantun
tersebut berisi nasihat ataupun
pantun petuah, dan pantun
jenaka. Lagu yang dinyanyikan
monotor, yang artinya musik tersebut dinyanyikan tanpa ada
reff. Pemain musik Panting
memainkan musik tersebut
dengan cara duduk, para pemain
laki-laki duduk dengan bersila,
sedangkan pemain perempuan duduk dengan bertelimpuh. Para
pemain musik Panting pada
umumnya mengenakan pakaian
Banjar. Yang laki-laki
mengenakan peci sebagai tutup
kepala sedangkan pemain perempuan menggunakan
kerudung.
FUNGSI
Musik Panting mempunyai fungsi
sebagai :
->Sebagai hiburan, karena
musiknya dan syair-syairnya
yang kadang-kadang jenaka
dan dapat menghibur orang
banyak. Oleh karena itu, musik
panting sering digunakan pada acara perkawinan.

->Sebagai sarana pendidikan,
karena di dalam musik Panting
syainya berisi tentang
nasihat-nasihat dan petuah.
->Sebagai musik yang memiliki
nilai-nilai agama, karena
musik-musiknya mengandung
unsur-unsur agama.
->Untuk mempererat tali
silaturahmi antar sesama
warga masyarakat.
->Sebagai kesenian musik
tradisional yang berasal dari
Kalimantan Selatan.

Sultan adam

Sultan Adam Al-Watsiq
Billah bin Sultan
Sulaiman Saidullah
adalah Sultan Banjar
yang memerintah
antara tahun 1825 s.d 1857. Sultan Adam
dilahirkan di desa
Karang Anyar, Karang
Intan, Kabupaten
Banjar, Kalimantan
Selatan, Indonesia. Sultan Adam putra
tertua dari Sultan
Sulaiman Rahmatullah
yang berjumlah 23
orang. Sultan Adam
memiliki saudara kandung sebanyak 5
orang dan saudara
seayah 17 orang. Pada masa Sultan
Adam, pusat
pemerintahan berada
di Keraton, Sasaran
dan Pasayangan (Jl.
Demang Lehman), Martapura. Pada 28 September
1849, Gubernur
Jenderal J.J.
Rochussen datang ke
Pengaron di
Kesultanan Banjar untuk meresmikan
pembukaan tambang
batu bara Hindia
Belanda pertama yang
dinamakan Tambang
Batu Bara Oranje Nassau “Bentang
Emas”. Beliau mendapat gelar
Sultan Muda sejak
tahun 1782. Ketika
wafatnya tahun 1857
terjadi krisis suksesi.
(Wikipedia)

Pangeran antasari

Pangeran Antasari
(lahir: 1797,
Kalimantan Selatan –
wafat: Bayan Begak,
Murung Raya,
Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862) adalah
seorang Pahlawan
Nasional Indonesia.
Beliau meninggal
karena penyakit
cacar di pedalaman sungai Barito,
Kalimantan Tengah.
Kerangkanya
dipindahkan ke
Banjarmasin dan
dimakamkan kembali di Taman Makam Perang
Banjar (Komplek
Makam Pangeran
Antasari), Banjarmasin
Utara, Banjarmasin.
Perjuangan beliau dilanjutkan oleh
keturunannya Sultan
Muhammad Seman dan
cucunya Ratu Zaleha. Pada 14 Maret 1862
menyandang gelar
Panembahan
Amiruddin Khalifatul
Mukminin dihadapan
para kepala suku Dayak dan adipati
(gubernur) penguasa
wilayah Tanah Dusun
Atas, Kapuas dan
Kahayan yaitu Kiai
Adipati Jaya Raja. Semasa muda nama
beliau adalah Gusti Inu
Kartapati. Ayah
Pangeran Antsari
adalah Pangeran
Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir bin
Sultan Muhammad
Aminullah dan ibunya
Gusti Hadijah binti
Sultan Sulaiman.
Pangeran Antasari mempunyai adik
perempuan yang
bernama Ratu
Antasari yang
menikah dengan
Sultan Muda Abdurrahman tetapi
meninggal lebih dulu
sebelum memberi
keturunan. Ia pernah meledakkan
kapal milik Belanda
yang bernama Kapal
Onrust dan juga
dengan pemimpin-
pemimpinnya yang bernama Letnan der
Velde dan Letnan
Bangert.(Wikipedia)

SULTAN HIDAYATULLAH

Sultan Hidayatullah
adalah salah seorang
pemimpin Perang
Banjar setelah beliau
diangkat langsung
oleh Sultan Adam menjadi Sultan Banjar
untuk meneruskan
pemerintahan
kerajaan Banjar
menggantikan
kakeknya-nya (Sultan Adam). Ayah beliau
adalah Sultan Muda
Abdurrahman bin
Sultan Adam,
sedangkan ibunda
beliau adalah Ratu Siti. Di masa pemerintahan
Sultan Adam
Alwazikoebillah, beliau
menjabat sebagai
mangkubumi
Kesultanan Banjar. Beliau adalah Sultan
Banjar yang dengan
tipu muslihat Penjajah
Belanda ditangkap
dan kemudian
diasingkan bersama dengan anggota
keluarga dan
pengiringnya ke
Cianjur. Di sana beliau
tinggal bersama
dengan keluarga Sultan Kesultanan
Pasir yang juga
diasingkan dalam
suatu pemukiman
yang sekarang
dinamakan Kampung Banjar/Gang Banjar.
Sultan Hidayatullah
wafat dan
dimakamkan di Cianjur.
Sultan Hidayatullah
mendapat Bintang kenegaraan dari
pemerintah RI
Keturunan Pangeran
Hidayatullah masih
menyimpan Surat
Wasiat Sultan Adam
Untuk Pangeran
Hidayatullah yang Naskah Aslinya
tersimpan baik oleh
Ratu Yus Roostianah
Keturunan garis
ke-3 / cicit dari
Pangeran Hidayatullah bertanggal 12 bulan
Shofar 1259, sebagai
saksi pertama Mufti
Haji Jamaludin dan
saksi kedua pengulu
Haji Mahmut. Dalam surat tersebut Sultan
Adam berwasiat
kepada
keturunannya, segala
raja-raja (raja/
penguasa lokal) dan rakyat Banjar untuk
me-Raja-kan
Pangeran Hidayatullah
sebagai Sultan Banjar
penggantinya dan
memberikan daerah kekuasaan (tanah
lungguh) yang meliputi
wilayah yang
sekarang menjadi
sebagian Kabupaten
Banjar dan Kota Banjarbaru (Distrik
Riam Kanan), dan
seluruh Kabupaten
Tapin(Distrik
Margasari dan Banua
Ampat). Wilayah tersebut hanya
sebagian dari wilayah
kerajaan Banjar, jadi
tidak termasuk
wilayah Banua Lima
yang dikuasai Kiai Adipati Danu Raja dan
wilayah Mangkatip
(sebagian Barsel) dan
wilayah suku Dayak
Maanyan Paju Sapuluh
(sebagian Bartim) yang dikuasai Puteri
Mayang Sari. Wilayah
kesultanan Banjar
lainnya di kota
Banjarmasin dan
sekitarnya diantaranya Kampung
Kuin (Banjarmasin
Utara), Kampung
Sungai Mesa, dan lain-
lain. Sedangkan
daerah-daerah di luar wilayah tersebut
merupakan wilayah
Hindia Belanda yaitu
sebagian besar
wilayah yang saat ini
menjadi Kota Banjarmasin, sebagian
Kabupaten Barito
Kuala dan Kabupaten
Tanah Laut.(wapedia)

Nama nama pemimpin wilayah/daerah Provinsi kalimantan selatan hingga sekarang

Sejak kemerdekaan
Republik Indonesia
diprok¬lamasikan
hingga sekarang ini
pimpinan Wilayah/
Daerah yang pernah dan sedang
memangku jabatan
sebagai Gubernur /
Kepala Daerah Tingkat
I Propinsi Kalimantan
Selatan, adalah sebagai berikut:
1) Ir. Pangaran
Muhammad Noor 1945
-1950
2) Dr. Mas Murdjani
1950 -1953
3) Raden
Tumenggung Arya
Milano1953 -1957
4) M. Syarkawi 1957
– 1959
5) H. Maksid 1960 –
1963
6) H. AbuYazid
Bustomi 1963
7) H. Aberani
Sulaiman 1963
-1969
8) M. Jamani 1969
-1970
9) Subardjo
Sorosuroyo 1970
-1980
10)Mistar
Tjokrokoesoemo 1980
-1984
11)Ir. H.M. Said 1985 –
1995
12)Drs. H. Gt. Hasan
Aman1995 – 2000
13)Drs. H.Syahril
Darham2000 -2005
14)Drs. H. Rudy
Ariffin2005 –
sekarang.
(diambil dari
sultanborneo.com)

SEJARAH PEMERINTAHAN DI KALIMANTAN SELATAN

Perkembangan
pemerintahan. di
Kalimantan Selatan
tidak lepas dari
perkembangan
pemerinta han negara Republik Indonesia pada
umumnya, karena
Pemerintah Propinsi.
Daerah Tingkat I
Kalimantan Selatan
merupakan bagian integral dari
Pemerintah Negara
Kesatuan Republik
Indonesia.Oleh karena
itu., untuk melihat
perkembangan sampai terbentuk nya Pemerintah
Propinsi Daerah
Tingkat I Kalimantan
Selatan, dapat
dikemukakan sejarah
singkat dari Zaman Kerajaan Hindia Belanda,
Pendudukan Jepang
dan Zaman
Kemerdekaan sampai
sekarang. 1.Zaman Kerajaan. Jauh sebelum zaman
Kolonial Belanda
mendu¬duki Tanah Air
kita, di Daerah
Kalimantan sudah ada
sistem pemerintahan di bawah pimpinan
Empu Jatmika beserta
dua orang anaknya
yaitu Empu
Mandastana dan
Lambung Mangkurat. Kemudian setelah
Lambung Mangkurat
mengambil anak Raja
Majapahit untuk
dikawinkan dan
dinobatkan sebagai raja dengan nama
Pangeran Surianata,
terbentuklah suatu
sistem pemerintahan
yang teratur sebagai
kerajaan dengan sebutan Keraja¬an
Banjar. Keturunan
PangeranSurianata
inilah yang ber¬abad-
abad berkuasa dan
memerintah Kerajaan
Banjar. Dalam perjalanan
pemerintahannya
banyak tercatat
peristiwa-peristiwa
penting antara lain
terbentuknya Kesultanan
Banjarmasin, pada
tanggal 24
Sep¬tember 1526,
dengan tampuk
pimpinan Sultan Suriansyah. Sebagaimana
diketahui bahwa
Kolonial Belanda
menduduki Tanah Air
kita semula dengan
nama VOC hanya semata bertujuan
berdagang. Namun,
akhirnya berubah
dengan melakukan
agresi untuk
menguasai bahkan kemudian menjajah
Indonesia term~suk
Kerajaan Banjar. Jadi
pada waktu itu
banyak terjadi
perlawanan bahkan pertempuran. Tetapi
karena
TentaraBelanda
memiliki peralatan
yang lebih baik dan
pula dengan akal yang licik, akhirnya
Kerajaan Banjar
runtuh dan tenggelam
dan tidak berarti
apa-apa lagi. Selanjutnya dengan
Besluit Gubernur
General tanggal 17
Desember 1859,
Kerajaan Banjar
dinyata¬kan sebagai Daerah Gubernemen
Belanda, dan pada
tanggal 11 Desember
1860 kemudian
Belanda
mem¬proklamasikan jatuhnya Kerajaan
Banjar menjadi
Pemerintahan yang
langsung berada di
bawah
kekua¬saannya maka seluruh rakyat
dituntut mentaati
segala peraturan
yang
dikeluarkan.penguasa. 2.Zaman Hindia
Belanda Tahun 1922
Pemerintah Hindia
Belanda telah
mengeluarkan Bestu
urschervorming Wet
(stb. 1922 No. 216) yaitu Undang-undang
tentang Pemerintah Hindia Belanda dengan
menyisipkan pasal ll0
– 122 pada Indische
Staate Regeling.
Undang-undang ini
memungkinkan pembentukan otonom
yang lebih besar dari
Gewast lama dengan
sebutan “Province”. Kemudian Undang-
undang’ itu disusul
dengan terbitnya
Province Ordonantie
L.N. 1924, No. 78 yang
selanjutnya diikuti dengan pembentukan
Pro¬pinsi-propinsi di
Jawa dan Madura,
sedangkan bagi
daerah di luar Jawa
berlaku Staate Gemente Ordonan¬tie
Buitengawesten (Stb.
1938, No. 131). Menurut Stb. 1936,
No. 68 telah
ditetapkan Ordanantie
pembentukan
Gouvernement
Sumatera, Borneo serta Timur Besar dan
masing-masing
Pemerintahan dipimpin
oleh Gubernur atas
nama Gu¬bernur
Jenderal. Selanjutnya
berdasarkan Stb.
1938, No. 352
di¬sebutkan bahwa
Gouvernement Van
Borneo dengan ibukotanya
Banjarmasin, meliputi
dua Karesidenan,
yaitu: (1) Residentie Inider
en Waster Afdeling
van Borneo,dan (2) Residentie Waster
Afdeling van Borneo. 3.Zaman Pendudukan
Jepang Pada masa
pendudukan Jepang,
kepulauan di luar
pulau Jawa termasuk
Borneo pada waktu
itu,di bawah kekuasaan Pasukan
Laut yang
berkedudukan di
Makasar. Sistem pemerintahan
yang berlaku berjalan
secara sentralisasi
melalui Residen, Bupati
dan Walikota.
Sedangkan dewan yang ada di Propinsi,
Kabu¬paten dan
Kotamadya
dihapuskan. Hal ini
dimaklumi karena
keadaan perang waktu itu. 4.Zaman Kemerdekaan Terbentuknya daerah
otonom Propinsi
Kalimantan, pada
tanggal 19 Agustus
1945, PPKI
menetap¬kan bahwa Kalimantan atau
Borneo pada waktu
itu, adalah salah satu
Propinsi dari Daerah
Negara Republik
Indonesia yang dibagi menjadi delapan
Propinsi lainnya di
Indonesia, masing-
masing dipimpin oleh
seorang Gubernur. Dalam hubungan ini
pada tanggal 2
September 1945 di
Jakarta telah
dilakukan pelan¬tikan
Ir. Pangeran Muhammad Noor
sebagai Guber¬nur
Borneo dan disusul
dengan berdirinya
Komite Nasional
Indonesia di Banjarmasin,
Samarinda, dan
Pontianak pada
tanggal 14 Oktober
1945. Kemudian menjelang
berdirinya Negara
Kesatu¬an Republik
Indonesia, oleh
Presiden RIS
dipandang perlu membentuk Daerah-
daerah Propinsi yang
semu¬la terdiri dari
delapan Propinsi
menjadi sepuluh
Dae¬rah Otonom Propinsi. Salah satu
dari Daerah Otonom
tersebut adalah,
Daerah Otonom
Propinsi Kalimantan. Berdasarkan hal
tersebut di atas
serta dengan
memperhatikan
perkembangan politik
di Daerah Kalimantan, maka Pemerintah
menganggap perlu
se¬gera melegalisirkan
daerah-daerah yang
dibentuk se¬mentara
dengan membentuk secara resmi daerah-
¬daerah yang berhak
mengatur dan
mengurus rumah
tangganya sendiri, Atas dasar Undang-
Undang No¬mor 11
Tahun
1948,dikeluarkan
Undang-¬Undang
Nomor 2 tahun 1953, tentang Pembentukan
Daerah Otonom
Propinsi Kalimantan
(L.N.R.I No¬mor 8
tahun 1953) antara
lain dalam pasal l ayat (1) menyebutkan
bahwa : Daerah Propinsi
Kalimantan yang
bersifat Admi¬nistratif
seperti dimaksudkan
dalam PP.Nomor 21
tahun 1950,meliputi Keresidenan¬-
karesidenan
Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Barat,
dibentuk sebagai “Daerah Otonom
Propinsi Kalimantan
Selatan” yang berhak
mengatur dan
mengurus rumah
tangganya sendiri. Perkembangan
selanjutnya terjadi
pada tahun 1957,
yaitu dengan
diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1956,
tentang Pembentukan
Daerah Otonom
Propinsi Kalimantan
Selatan, Kali¬mantan
Timur dan Kalimantan. Barat. (L.N.R.I. Nomor
65 tahun 1956) pada
tanggal 1 Januari
1957. Atas dasar itu
terjadilah peristiwa
sejarah yang sangat penting, yaitu
dilakukannya serah
terima kekuasaan
Pemerintahan antara
Gubernur Kalimantan
Milona kepada: 1). M. Syarkawi
…………………………….Akti
Gubernur Kalimantan
Selatan: 2). Bambang Pranoto
…………………….Akting
Gubernur Kalimantan
Timur, dan 3). A.R. Aflos
……………………………….Ak
Gubernur Kelimantan
Barat Selanjutnya, pada
tanggal 14 Agustus
1950, Gu¬bernur
Kalimantan DR. Mas
Murdjani dengan
kepu¬tusannya nomor: 186/92/14,
untuk sementara
waktu sambil
menunggu tindak
lanjut dari Pemerintah
Pusat, telah dibentuk beberapa Daerah
Kabupaten, Daerah
Istimewa, dan
Kotapraja yang
mengatur rumah
tang¬ga sendiri di bagian wilayah
tertentu di Propinsi
Kalimantan Selatan. Di
samping itu, dengan
berpedoman pa¬da
PP. No. 139 tahun 1950, oleh Gubernur
Kaliman¬tan di
daerah-daerah
tersebut juga
dibentuk DPR dan DPD. Akibat keputusan
tersebut menimbulkan
berbagai kesukaran
dan keraguan yang
berkaitan dengan
tugas atau pekerjaan yang dijalankan oleh
DPR mau¬pun DPD
didaerah-daerah
tersebut.

Jumat, 18 November 2011

Sejarah kalimantan selatan

Sejarah Provinsi
Kalimantan Selatan Sejarah Pemerintahan
di Kalimantan Selatan
diperkirakan dimulai
ketika berdiri
Kerajaan Tanjung Puri
sekitar abad 5-6 Masehi. Kerajaan ini
letaknya cukup
strategis yaitu di Kaki
Pegunungan Meratus
dan di tepi sungai
besar sehingga di kemudian hari menjadi
bandar yang cukup
maju. Kerajaan
Tanjung Puri bisa juga
disebut Kerajaan
Kahuripan, yang cukup dikenal sebagai
wadah pertama
hibridasi, yaitu
percampuran
antarsuku dengan
segala komponennya. Setelah itu berdiri
kerajaan Negara Dipa
yang dibangun
perantau dari Jawa. Pada abad ke 14
muncul Kerajaan
Negara Daha yang
memiliki unsur-unsur
Kebudayaan Jawa
akibat pendangkalan sungai di wilayah
Negara Dipa. Sebuah
serangan dari Jawa
menghancurkan
Kerajaan Dipa ini.
Untuk menyelamatkan,
dinasti baru pimpinan
Maharaja Sari
Kaburangan segera
naik tahta dan
memindahkan pusat pemerintahan ke arah
hilir, yaitu ke arah
laut di Muhara
Rampiau. Negara Dipa
terhindar dari
kehancuran total, bahkan dapat menata
diri menjadi besar
dengan nama Negara
Daha dengan raja
sebagai pemimpin
utama. Negara Daha pada akhirnya
mengalami
kemunduran dengan
munculnya perebutan
kekuasaan yang
berlangsung sejak Pangeran Samudra
mengangkat senjata
dari arah muara,
selain juga mendirikan
rumah bagi para patih
yang berada di muara tersebut. Pemimpin utama para
patih bernama MASIH.
Sementara tempat
tinggal para MASIH
dinamakan
BANDARMASIH. Raden Samudra mendirikan
istana di tepi sungai
Kuwin untuk para
patih MASIH tersebut.
Kota ini kelak
dinamakan BANJARMASIN, yaitu
yang berasal dari
kata BANDARMASIH. Kerajaan Banjarmasin
berkembang menjadi
kerajaan maritim
utama sampai akhir
abad 18. Sejarah
berubah ketika Belanda
menghancurkan
keraton Banjar tahun
1612 oleh para raja
Banjarmasin saat itu
panembahan Marhum, pusat kerajaan
dipindah ke Kayu
Tangi, yang sekarang
dikenal dengan kota
Martapura. Awal abad 19, Inggris
mulai melirik
Kalimantan setelah
mengusir Belanda
tahun 1809. Dua
tahun kemudian menempatkan residen
untuk Banjarmasin
yaitu Alexander Hare.
Namun kekuasaanya
tidak lama, karena
Belanda kembali. Babak baru sejarah
Kalimantan Selatan
dimulai dengan
bangkitnya rakyat
melawan Belanda.
Pangeran Antasari tampil sebagai
pemimpin rakyat yang
gagah berani. Ia wafat
pada 11 Oktober
1862, kemudian anak
cucunya membentuk PEGUSTIAN sebagai
lanjutan Kerajaan
Banjarmasin, yang
akhirnya dihapuskan
tentara Belanda
Melayu Marsose, sedangkan Sultan
Muhammad Seman
yang menjadi
pemimpinnya gugur
dalam pertempuran.
Sejak itu Kalimantan Selatan dikuasai
sepenuhnya oleh
Belanda. Daerah ini dibagi
menjadi sejumlah
afdeling, yaitu
Banjarmasin, Amuntai
dan Martapura.
Selanjutnya berdasarkan
pembagian organik
dari Indisch Staatsblad
tahun 1913,
Kalimantan Selatan
dibagi menjadi dua afdeling, yaitu
Banjarmasin dan Hulu
Sungai. Tahun 1938
juga dibentuk
Gouverment Borneo
dengan ibukota Banjarmasin dan
Gubernur Pertama dr.
Haga. Setelah Indonesia
merdeka, Kalimantan
dijadikan propinsi
tersendiri dengan
Gubernur Ir. Pangeran
Muhammad Noor. Sejarah pemerintahan
di Kalimanatn Selatan
juga diwarnai dengan
terbentuknya
organisasi Angkatan
Laut Republik Indonesia ( ALRI ) Divisi
IV di Mojokerto, Jawa
Timur yang
mempersatukan
kekuatan dan pejuang
asal Kalimantan yang berada di Jawa. Dengan
ditandatanganinya
Perjanjian Linggarjati
menyebabkan
Kalimantan terpisah
dari Republik Indonesia. Dalam
keadaan ini pemimpin
ALRI IV mengambil
langkah untuk
kedaulatan Kalimantan
sebagai bagian wilayah Indonesia,
melalui suatu
proklamasi yang
ditandatangani oleh
Gubernur ALRI Hasan
Basry di Kandangan 17 Mei 1949 yang
isinya menyatakan
bahwa rakyat
Indonesia di
Kalimantan Selatan
memaklumkan berdirinya
pemerintahan
Gubernur tentara ALRI
yang melingkupi
seluruh wilayah
Kalimantan Selatan. Wilayah itu dinyatakan
sebagai bagian dari
wilayah RI sesuai
Proklamasi
kemerdekaaan 17
agustus 1945. Upaya yang dilakukan
dianggap sebagai
upaya tandingan atas
dibentuknya Dewan
Banjar oleh Belanda. Menyusul kembalinya
Indonesia ke bentuk
negara kesatuan
kehidupan
pemerintahan di
daerah juga mengalamai
penataaan. Di wilayah
Kalimantan, penataan
antara lain berupa
pemecahan daerah
Kalimantan menjadi 3 propinsi masing-
masing Kalimantan
Barat, Timur dan
Selatan yang
dituangkan dalam UU
No.25 Tahun 1956. Berdasarkan UU No.21
Tahun 1957, sebagian
besar daerah sebelah
barat dan utara
wilayah Kalimantan
Selatan dijadikan Propinsi Kalimantan
Tengah. Sedangkan UU
No.27 Tahun 1959
memisahkan bagian
utara dari daerah
Kabupaten Kotabaru dan memasukkan
wilayah itu ke dalam
kekuasaan Propinsi
Kalimantan Timur.
Sejak saat itu Propinsi
Kalimantan Selatan tidak lagi mengalami
perubahan wilayah,
dan tetap seperti
adanya. Adapun UU
No.25 Tahun 1956
yang merupakan dasar pembentukan
Propinsi Kalimantan
Selatan kemudian
diperbaharui dengan
UU No.10 Tahun 1957
dan UU No.27 Tahun 1959( sumb: situs
Pemprop Kalsel) Sejarah Kalsel Bagi Kalimantan
Selatan, tanggal 1
Januari 1957 benar-
benar merupakan
momentum penting
dalam sejarahnya, mengingat pada
tanggal itu Kalimantan
Selatan resmi menjadi
Provinsi yang berdiri
sendiri di Pulau
Kalimantan, bersama- sama dengan Provinsi
Kalimantan Timur dan
Provinsi Kalimantan
Barat. Sebelumnya
ketiga Provinsi
tersebut berada dalam satu Provinsi,
yaitu Provinsi
Kalimantan. Sebelum menjadi
Provinsi yang berdiri
sendiri, sesungguhnya
Kalimantan Selatan
sudah merupakan
daerah yang paling menonjol di Pulau
Kalimantan, khususnya
Kota Banjarmasin
yang merupakan
pusat kegiatan politik,
ekonomi/perdagangan, dan pemerintahan,
baik semasa
penjajahan maupun
pada awal
kemerdekaan. Perkembangan
kehidupan
pemerintahan dan
kenegaraan di daerah
Kalimantan Selatan
sampai dengan permulaan abad 17
masih sangat kabur
karena kurangnya
data sejarah. Adanya
Hikayat Raja-Raja
Banjar dan Hikayat Kotawaringin tidak
cukup memberikan
gambaran yang pasti
mengenai keberadaan
Kerajaan-kerajaan
tersebut. Namun demikian
berdasarkan kedua
hikayat tersebut
dapat diketahui
bahwa pada abad 17
salah satu tokoh yaitu Pangeran
Samudera (cucu
Maharaja Sukarama)
dengan dibantu para
Patih bangkit
menentang kekuasaan pedalaman Nagara
Daha dan menjadikan
Bajarmasin di pinggir
Sungai Kwin sebagai
pusat
pemerintahannya (daerah ini disebut
Kampung Kraton). Pemberontakan
Pangeran Samudera
tersebut merupakan
pembuka jaman baru
dalam sejarah
Kalimantan Selatan sekaligus menjadi titik
balik dimulainya
periode Islam dan
berakhirnya jaman
Hindu. Sebab dialah
yang menjadi cikal bakal Islam Banjar dan
pendiri Kerajaan
Banjar. Dalam perkembangan
sejarah berikutnya
pada Tahun 1859
seorang Bangsawan
Banjar yaitu Pangeran
Antasari mengerahkan rakyat Kalimantan
Selatan untuk
melakukan
perlawanan terhadap
kaum kolonialisme
Belanda meskipun akhirnya pada Tahun
1905 perlawanan-
perlawanan berhasil
ditumpas oleh Belanda. Kelancaran hubungan
dengan Pulau Jawa
turut mempengaruhi
perkembangan di
Kalimantan Selatan.
Bertumbuhnya pergerakan-
pergerakan
kebangsaan di Pulau
Jawa dengan cepat
menyebar kedaerah
Kalimantan Selatan, hal ini tercermin
dengan dibentuknya
wadah-wadah
perjuangan pada
Tahun 1912 di
Banjarmasin seperti berdirinya Cabang-
cabang Sarikat Islam
di seluruh Kalimantan
Selatan. Seiring
dengan itu para
pemuda Kalimantan terdorong membentuk
Organisasi
Kepemudaan yaitu
Pemuda Marabahan,
Barabai dan lain-lain,
yang kemudian pada Tahun 1929
terbentuk Persatuan
Pemuda Borneo. Organisasi-organisasi
perjuangan tersebut
merupakan wadah
untuk
menyebarluaskan
kesadaran kebangsaan melawan
penjajahan Kolonial
Belanda. Pada periode pasca
Proklamasi
Kemerdekaan
merupakan momentum
yang paling heroik
dalam sejarah Kalimantan Selatan,
dimana pada tanggal
16 Oktober 1945
dibentuk Badan
Perjuangan yang
paling radikal yaitu Badan Pemuda
Republik Indonesia
Kalimantan (BPRIK)
yang dipimpin oleh
Hadhariyah M. dan A.
Ruslan, namun dalam perjalanan
selanjutnya gerakan
perjuangan ini
mengalami hambatan,
terutama dengan
disepakatinya perjanjian Linggarjati
pada tanggal 15
Nopember 1945.
Berdasarkan
perjanjian ini ruang
gerak pemerintah Republik Indonesia
menjadi terbatas
hanya pada kawasan
Pulau Jawa, Madura
dan Sumatera
sehingga organisasi- organisasi perjuangan
di Kalimantan Selatan
kehilangan kontak
dengan Jakarta,
kendati akhirnya pada
tahun 1950 menyusul pembubaran Negara
Indonesia Timur yang
dibentuk oleh kaum
kolonial Belanda, maka
Kalimantan Selatan
kembali menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari
Republik Indonesia
sampai saat ini
( sumb:situs Depdagri) KISAH ‘KERAJAAN
BANJAR’ SAMPAI
‘BANUA BANJAR’
HINGGA BERDIRINYA
PEMERINTAHAN PROPINSI
KALIMANTAN SELATAN Pangeran Samudera
diangkat menjadi raja
oleh Patih Masih, Patih
Balit, Patih Muhur,
dan Patih Balitung. Di
kampung Banjarmasih didirikan sebuah
Kraton, dengan rumah
asal, rumah Patih
Masih sendiri.
Kampung Banjarmasih
disebut sampai sekarang Kampung
Kraton (sekarang
Kampung Kuin). Di sini
terdapat kuburan
Raja Banjar yang
pertama sampai dengan Raja Banjar
yang ketiga. Ketika terjadi
penyerbuan ke
Bandar Muara Bahan
(sekarang
Marabahan), semua
penduduknya dan para pedagang
dipindah ke
Banjarmasih.
Penyerbuan ke Muara
Bahan menimbulkan
peperangan dengan Negara Daha yang
dipimpin oleh
Pangeran
Tumenggung yang
kemudian dengan
armada sungainya menyerang
Banjarmasih. Di ujung
Pulau Alalak terjadi
perang sungai yang
hebat, tetapi
Pangeran.Tumenggung akhirnya kalah,
armadanya hancur
oleh Pangeran
Samudera. Sejak
itulah terjadi perang
yang berlarut-Iarut. Pangeran Samudera
aklhirnya minta
bantuan Demak
(Kerajaan Islam di
Pulau Jawa), Karena
ikatan 2 kerajaan yang sangat baik dan
atas dasar bahwa
Pangeran Samudera
adalah sah dan lebih
berhak atas tahta
kerajaan dibanding Pangeran
Tumenggung yang
hanya seorang Paman
Demak bersedia lalu
menyiapkan puluhan
armada kapal perang beserta laskarnya
dan seorang
pemimpinnya. Setelah
Demak datang di
Bandarmasih,
Penyerbuan ditunda sampai musim air
pasang datang hingga
sungai dapat dilayari
oleh kapal-kapal
besar mereka, sambil
juga menunggu musim panen selesai untuk
logistik pasukan dan
makanan rakyat. Pada saat menunggu
beberapa bulan
persiapan penyerbuan
inilah Pangeran
Samudera mulai
tertarik dengan ajaran Islam yang
setiap hari sholat
berjamaah dilakukan
oleh seluruh Laskar
Demak serta kegiatan
ritual-ritual Agama Islam yang dipimpin
oleh Khatib Dayan.
Pangeran Samudera
(PS) yang sebelumnya
beragama Hindu Syiwa
banyak bertanya kepada Khatib Dayan
(KD); seperti berikut
DIBAWAH ini ; PS= “Apa yang
sedang diperbuat
…? KD= “Oh…itu tadi
kami sedang
sholat..” PS= “Apa
itu sholat..?” KD= “Kami menyembah
Tuhan kami yaitu :
Allah , Tuhan Kami”
dst…dst…. Pangeran
Samuderapun
akhirnya tertarik dan mau belajar, hingga
akhirnya secara
sukarela menyatakan
ingin memeluk Islam.
Karena Ia seorang
Pangeran yang sangat di cintai oleh
maka sebagian besar
rakyat pada akhirnya
juga memeluk Islam.
Demikian tiga hari
sesudah Hari Raya Idul Fitri, diadakanlah
peng-Islaman atas
Raja dan rakyatnya.
Pangeran Samudera
berganti nama
menjadi Pangeran Suriansyah. Dengan
semangat baru
persaudaraan Islam
melawan kezaliman
pamannya sendiri
yaitu Pangeran Tumenggung yang
telah merebut Tahta
dari Bapaknya ketika
Ia masih kecil. Dan
dengan persiapan
yang cukup matang mereka berangkat ke
Hulu sungai/pedalaman
penggempur Kerajaan
Negara Daha.
Persiapan terakhir
peperangan ini, dilakukan pada
tanggal 6 September
1526 setelah hampir
40 hari bertempur. Di
Jingah Besar,
Pangeran Samudera dapat mengalahkan
pasukan Daha. Ini
merupakan
kemenangan besar
yang pertama. Yang
terakhir dilakukan pada tanggal 24
September 1526.
Pertempuran tak lagi
dilakukan antara
pasukan dengan
pasukan, tetapi Duel pertarungan antara
raja yang bermusuhan
yang beragama Syiwa,
dengan yang baru
masuk Islam. Pangeran
Tumenggung melawan Pangeran Samudera.
Pada saat duel
Pangeran Samudera
tak mau melawan
pamannya, Pangeran
Tumenggung. Pangeran Samudera
lalu membuang
senjatanya, rela mati
dan tak mau melukai
apalagi membunuh
pamannya sendiri saat itulah pamannya
merasa iba hatinya.
Ialu memeluk
kemenakannya itu
dan mengalah,
menyerahkan semua regalia tahta
kerajaan kepadanya. Demikianlah tanggal
24 September 1526,
hari Sabtu Pon,
dijadikan :Hari
kemenangan
Pangeran Samudera. Hari itu telah
diserahkannya regalia
kerajaan Negara Daha
ke Pangeran
Samudera oleh
Pangeran Tumenggung.dan
merupakan cikal bakal
dynasti Kerajaan
Banjar. Pada tanggal,
bulan dan tahun ini
pulalah Pemerintah Kota Banjarmasin
menetapkan sebagai
hari jadi kota
Banjarmasin yang
diperingati setiap
tahunnya tanggal 24 September, 1526 Setelah Negara Daha
kalah. semua
penduduknya
diangkut ke
Banjarmasih.
Penduduk Ibukota Kerajaan baru itu
terdiri dari penduduk
Bandarmasih sendiri
(Oloh Masih),
penduduk Bandar
Muara Bahan, penduduk Kota lama
Negara Daha.

Kamis, 17 November 2011

Kumpulan mutiara hikmah

-Sembahlah ALLAH Seolah olah kamu melihatnya bahkan jika kamu tidak melihatnya,maka dia akan melihatmu(hadits)
-Berusahalah Untuk duniamu seolah olah kamu akan hidup selamanya dan berusahalah untuk akherat seolah olah kamu akan mati esok hari.(hadits).
-teman yang selalu mengingatkanmu tentang akherat ketika berjumpa lebih baik dari pada teman yang setiap kali berjumpa memberimu uang.(bilal bin sa'ad).
-siapa menabur kebaikan di dunia akan menuai kebahagian di akherat.
-jadilah bagai bunga yang senantiasa menebarkan harumnya di mana pun dia berada.
-sifat seorang mukmin seperti seekor lebah,makan dari makanan yang baik,menghasilkan madu yang baik dan apabila hinggap pada setangkai bunga ia tidak pernah merusaknya.
-siapa yang menyayangi akan di sayangi,siapa yang tidak menyayangi dia tidak akan pernah di sayangi.(hadits)
- orang yang sedang berdo'a berarti sedang bercakap cakap dengan tuhannya.(hadits)
-perbuatan baik itu laksana wewangian yang tidak hanya mendatangkan manfaat bagi pemakainya,tetapi juga bagi orang orang yang berada di sekitarnya.(latahzan)
-persaudaraan/pergaulan dengan allah adalah dengan tata karma ibadah,dengan rasulullah adalah dengan mengakrabi ilmu dan mengikuti sunahnya,dengan para wali allah adalah dengan penghormatan dam memberikan pelayaran kepada umat,kepada sesama adalah dengan jeceriaan dan keramahan.
-janganh engkau melihat terhadap dosa kecil yang engkau lakukan,tetapi lihatlah kepada siapa enngkau berbuat kesalahan.
-pengakuan akan kesalahan ,bukanlah kelemahan itu adalah tanda dari adanya kekuatan.
-setan adalah musuhmu yang nyata, maka perlakukanlah ia sebagai musuhmu.(al-quran)
-janganlah engkau sibuk dengan aib orang lain sementara aib dirimu sendi tidak engkat perhatikan.(dzunnum Al misri)
-kegagalan tidak berarti kamu orang yang kalah,itu berarti kamu belum berhasil.
-kegagalan bukan berarti kamu tidak melakukan apa apa itu berarti bahwa kamu telah mencoba berbuat sesuatu.
-kegagalan tidak berarti kamu harus menyerah,itu berarti kamu perlu berusaha lebih baik lagi.