Laman

Sabtu, 03 Desember 2011

kerajaan tanjungpura

Untuk kegunaan lain dari
Tanjungpura, lihat Tanjungpura. Kerajaan Tanjungpura atau Tanjompura[1] merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Kayong Utara ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa
lampau. Tanjungpura pernah
menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagaiBakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah
dimelayukan menjadi
Tanjungpura. Wilayah kekuasaan Tanjungpura
membentang dari Tanjung Dato
sampai Tanjung Sambar. Pulau
Kalimantan kuno terbagi menjadi
3 wilayah kerajaan besar: Borneo
(Brunei), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin.
Tanjung Dato adalah perbatasan
wilayah mandala Borneo (Brunei)
dengan wilayah mandala
Sukadana (Tanjungpura),
sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah mandala
Sukadana/Tanjungpura dengan
wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).[2] [3]Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah
kekuasaan Banjarmasin,
sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.[4] Perbatasan di pedalaman,
perhuluan daerah aliran sungai
Pinoh (Lawai) termasuk dalam
wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)[5] Pada masa mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Tanjungpura menjadi ibukota
bagi daerah-daerah yang diklaim
sebagai taklukan Majapahit di nusa Tanjungnagara
(Kalimantan). Majapahit
mengklaim bekas daerah-daerah
taklukan Sriwijaya di pulau
Kalimantan dan sekitarnya. Nama
Tanjungpura seringkali dipakai untuk sebutan pulau Kalimantan
di masa itu. Pendapat lain
beranggapan Tanjungpura
berada di Kalimantan Selatan
sebagai pangkalan yang lebih
strategis untuk menguasai wilayah yang lebih luas lagi.
Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama
Manggalawardhani Dyah
Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri
disebutkan Manggalawardhani
Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada,
sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai
ansa-nya. Perpindahan ibukota
kerajaan Ibukota Kerajaan Tanjungpura
beberapa kali mengalami
perpindahan dari satu tempat ke
tempat lainnya. Beberapa
penyebab Kerajaan Tanjungpura
berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari
kawanan perompak (bajak laut)
atau dikenal sebagai Lanon.
Konon, di masa itu sepak-terjang
gerombolan Lanon sangat kejam
dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering
beralih pusat pemerintahan
adalah demi mempertahankan diri
karena sering mendapat
serangan dari kerajaan lain.
Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura
dibuktikan dengan adanya situs
sejarah yang ditemukan di bekas
ibukota-ibukota kerajaan
tersebut. Negeri Baru di
Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan
pusat pemerintahan Kerajaan
Tanjungpura. Dari Negeri Baru,
ibukota Kerajaan Tanjungpura
berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Zainuddin (1665–
1724), pusat istana bergeser
lagi, kali ini ditempatkan di
daerah Sungai Matan (Ansar
Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai.
Seorang penulis Belanda
menyebut wilayah itu sebagai
Kerajaan Matan, kendati
sesungguhnya nama kerajaan
tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura
(Mulia [ed.], 2007:5). Pusat
pemerintahan kerajaan ini
kemudian berpindah lagi yakni
pada 1637 di wilayah Indra Laya.
Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai
Puye, anak Sungai Pawan.
Kerajaan Tanjungpura kembali
beringsut ke Kartapura,
kemudian ke Desa Tanjungpura,
dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton
Muhammad Saunan sekarang
berdiri. Perpindahan ibukota
Kerajaan Sukadana Menurut Catatan Gusti Iswadi,
S.sos dalam buku Pesona Tanah
Kayong, Kerajaan Tanjungpura
dalam perspektif sejarah
disebutkan, bahwa, dari negeri
baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana,
kemudian pindah lagi Ke Sungai
Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir). Dan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut
Kerajaan Indralaya. Indra Laya
adalah nama dari satu tempat di
Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura
karena pindah lagi ke Karta Pura
di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang
(Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke
Muliakarta di Keraton Muhammad
Saunan yang ada sekarang yang
terakhir sebagai pusat
pemerintahan swapraja. Bukti adanya sisa kerajaan ini
dapat dilihat dengan adanya
makam tua di kota-kota
tersebut, yang merupakan saksi
bisu sisa kerajaan Tanjungpura
dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah
Kabupaten Ketapang telah
mengadakan pemugaran dan
pemeliharaan di tempat
peninggalan kerajaan tersebut.
Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari kejayaan
kerajaan tanjungpura di masa
lampau. Dalam melacak jejak raja-raja
yang pernah memimpin Kerajaan
Matan, patut diketahui pula
silsilah raja-raja Kerajaan
Tanjungpura karena kedua
kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat
panjang. Berhubung terdapat
beberapa versi tentang sejarah
dan silsilah raja-raja Tanjungpura
beserta kerajaan-kerajaan lain
yang masih satu rangkaian dengannya, maka berikut ini
dipaparkan silsilahnya menurut
salah satu versi, yaitu
berdasarkan buku Sekilas
Menapak Langkah Kerajaan
Tanjungpura (2007) suntingan Drs. H. Gusti Mhd. Mulia: Kerajaan Tanjungpura 1. Brawijaya (1454–1472)[6] 2. Bapurung (1472–1487)[7] 3. Panembahan Karang Tanjung
(1487–1504) Pada masa pemerintahan
Panembahan Karang Tanjung,
pusat Kerajaan Tanjungpura
yang semula berada di Negeri
Baru dipindahkan ke Sukadana,
dengan demikian nama kerajaannya pun berubah
menjadi Kerajaan Sukadana. Kerajaan Sukadana Peta yang dibuat oleh Oliver van
Noord tahun 1600,
menggambarkan lokasi
Succadano, Tamanpure, Cota Matan, dan Loue[8] 1. Panembahan Karang Tanjung
(1487–1504) 2. Gusti Syamsudin atau Pundong
Asap atau Panembahan Sang
Ratu Agung (1504–1518) 3. Gusti Abdul Wahab atau
Panembahan Bendala (1518–
1533) 4. Panembahan Pangeran Anom
(1526–1533) 5. Panembahan Baroh (1533–
1590) 6. Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma
atau Panembahan Sorgi
(1590–1604) 7. Ratu Mas Jaintan (1604?1622) 8. Gusti Kesuma Matan atau Giri
Mustika atau Sultan
Muhammad Syaifuddin (1622–
1665) Inilah raja terakhir Kerajaan
Sukadana sekaligus raja pertama
dari Kerajaan Tanjungpura yang
bergelar Sultan. Kerajaan Matan 1. Gusti Jakar Kencana atau
Sultan Muhammad Zainuddin
(1665–1724) 2. Gusti Kesuma Bandan atau
Sultan Muhammad Muazzuddin
(1724–1738) 3. Gusti Bendung atau Pangeran
Ratu Agung atau Sultan
Muhammad Tajuddin (1738–
1749) 4. Gusti Kencuran atau Sultan
Ahmad Kamaluddin (1749–
1762) 5. Gusti Asma atau Sultan
Muhammad Jamaluddin (1762–
1819) Gusti Asma adalah raja terakhir
Kerajaan Matan dan pada masa
pemerintahannya, pusat
pemerintahan Kerajaan Matan
dialihkan ke Simpang, dan nama
kerajaannya pun berganti menjadi Kerajaan Simpang atau
Kerajaan Simpang-Matan. Kerajaan
(penambahanschap)
Simpang-Matan 1. Gusti Asma atau Sultan
Muhammad Jamaluddin (1762–
1819). Anak Sultan Ahmad
Kamaluddin 2. Gusti Mahmud atau
Panembahan Anom
Suryaningrat (1819–1845).
Menantu Sultan Ahmad Kamaluddin[9] 3. Gusti Muhammad Roem atau
Panembahan Anom
Kesumaningrat (1845–1889).
Anak Panembahan Anom Suryaningrat[9] 4. Gusti Panji atau Panembahan
Suryaningrat (1889–1920) 5. Gusti Roem atau Panembahan
Gusti Roem (1912–1942) 6. Gusti Mesir atau Panembahan
Gusti Mesir (1942–1943) 7. Gusti Ibrahim (1945) Gusti Mesir menjadi tawanan
tentara Jepang yang berhasil
merebut wilayah Indonesia dari
Belanda pada 1942, karena itulah
maka terjadi kekosongan
pemerintahan di Kerajaan Simpang. Pada akhir masa
pendudukan Jepang di Indonesia,
sekira tahun 1945, diangkatlah
Gusti Ibrahim, anak lelaki Gusti
Mesir, sebagai raja. Namun,
karena saat itu usia Gusti Ibrahim baru menginjak 14 tahun
maka roda pemerintahan
dijalankan oleh keluarga
kerajaan yaitu Gusti Mahmud
atau Mangkubumi yang memimpin
Kerajaan Simpang hingga wafat pada 1952. Kerajaan Kayong-Matan
atau Kerajaan Tanjungpura
II 1. Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat[10] 2. Pangeran Agung 3. Sultan Mangkurat Berputra 4. Panembahan Anom Kesuma
Negara atau Muhammad
Zainuddin Mursal (1829-1833) [11] 5. Pangeran Muhammad Sabran [12] 6. Gusti Muhammad Saunan[13] Menurut Staatsblad van
Nederlandisch Indië tahun 1849,
wilayah kerajaan-kerajaan ini
termasuk dalam wester-afdeeling
berdasarkan Bêsluit van den
Minister van Staat, Gouverneur- Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[14] Meski terpecah-pecah menjadi
beberapa kerajaan, namun
kerajaan-kerajaan turunan
Kerajaan Tanjungpura (Kerajaan
Sukadana, Kerajaan Simpang-
Matan, dan Kerajaan Kayong- Matan atau Kerajaan
Tanjungpura II) masih tetap eksis
dengan pemerintahannya
masing-masing. Silsilah raja-raja
yang pernah berkuasa di
Kerajaan Matan (dan sebelum berdirinya Kerajaan Matan) di
atas adalah salah satu versi
yang berhasil diperoleh. Terdapat
versi lain yang juga
menyebutkan silsilah raja-raja
Matan yang diperoleh dari keluarga Kerajaan Matan sendiri
dengan menghimpun data dari
berbagai sumber (P.J. Veth, 1854;
J.U. Lontaan, 1975; H. von Dewall,
1862; J.P.J. Barth, 1896; Silsilah
Keluarga Kerajaan Matan- Tanjungpura; Silsilah Raja Melayu
dan Bugis; Raja Ali Haji, Tufat al-
Nafis; Harun Jelani, 2004; H.J. de
Graaf, 2002; Gusti Kamboja,
2004), yakni sebagai berikut: Kerajaan Tanjungpura 1. Sang Maniaka atau Krysna Pandita (800 M–?)[15] 2. Hyang-Ta (900–977)[16] 3. Siak Bahulun (977–1025)[17] 4. Rangga Sentap (1290–?)[18] 5. Prabu Jaya/Brawijaya (1447-1461)[19] 6. Raja Baparung, Pangeran
Prabu (1461–1481) 7. Karang Tunjung, Panembahan
Pudong Prasap (1481–1501) 8. Panembahan Kalahirang (1501–1512)[20] 9. Panembahan Bandala (1512–
1538); Anak Kalahirang 10. Panembahan Anom (1538–
1565); Saudara Panembahan
Bandala 11. Panembahan Dibarokh atau
Sibiring Mambal (1565?1590) Kerajaan Matan 1. Giri Kusuma (1590–1608);
Anak Panembahan Bandala 2. Ratu Sukadana atau Putri
Bunku/Ratu Mas Jaintan
(1608–1622); Istri Giri
Kusuma/Anak Ratu Prabu
Landak 3. Panembahan Ayer Mala
(1622–1630); Anak
Panembahan Bandala 4. Sultan Muhammad Syafeiudin,
Giri Mustaka, Panembahan
Meliau atau Pangeran Iranata/
Cakra (1630–1659); Anak/
Menantu Giri Kusuma 5. Sultan Muhammad Zainuddin/
Pangeran Muda (1659–1725);
Anak Sultan Muhammad
Syaeiuddin 6. Pangeran Agung (1710–1711);
Perebutan kekuasaan 7. pembagian kekuasaan,
memimpin kerajaan di Tanah
Merah 1. Pangeran Agung
Martadipura (1725–1730);
Anak Sultan Muhammad
Zainuddin, pembagian
kekuasaan memimpin
kerajaan di Tanah Merah 2. Pangeran Mangkurat/
Sultan Aliuddin Dinlaga
(1728–1749); Anak Sultan
Muhammad Zainuddin,
pembagian kekuasaan di
Sandai dan Tanah Merah 8. pembagian kekuasaan,
memimpin kerajaan di Simpang 1. Pangeran Ratu Agung
(1735–1740); Anak Sultan
Muhammad Zainuddin,
pembagian kekuasaan,
memimpin kerajaan di
Simpang 2. Sultan Muazzidin Girilaya
(1749–1762); Anak
Pangeran Ratu Agung,
memimpin kerajaan di
Simpang 9. Sultan Akhmad Kamaluddin/
Panembahan Tiang Tiga
(1762–1792); Anak Sultan
Aliuddin Dinlaga 10. Sultan Muhammad Jamaluddin,
sebelumnya: Pangeran Ratu,
sebelumnya: Gusti Arma
(1792–1830); Anak Sultan Akhmad Kalamuddin[21] 11. Pangeran Adi Mangkurat
Iradilaga atau Panembahan
Anom Kusuma Negara (1831–
1843); Anak Pangeran
Mangkurat 12. Pangeran Cakra yang Tua
atau Pangeran Jaya Anom
(1843–1845); Sebagai pejabat
perdana menteri, anak
Pangeran Mangkurat 13. Panembahan Gusti Muhammad
Sabran (1845–1908); Anak
Panembahan Anom Kusuma
Negara 14. Pangeran Laksamana Uti
Muchsin (1908–1924); Anak
Panembahan Gusti Muhammad
Sabran 15. Panembahan Gusti Muhammad
Saunan atau Pangeran Mas
(1924–1943); Anak Gusti
Muhammad Busra 16. Majelis Pemerintah Kerajaan
Matan (1943–1948), terdiri
dari Uti Halil (Pg. Mangku
Negara), Uti Apilah (Pg.
Adipati), Gusti Kencana (Pg.
Anom Laksamana) Penggunaan nama kerajaan Saat ini nama kerajaan ini
diabadikan sebagai nama
universitas negeri di Kalimantan Barat yaitu Universitas Tanjungpura di Pontianak, dan juga digunakan oleh TNI Angkatan Darat sebagai nama Kodam di Kalimantan yaitu Kodam XII/Tanjungpura